Jakarta, InfomsiNews–Presiden Joko Widodo mengatakan hilirtrasi telah memberikan keuntungan yang besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia karena pembangunan smelter nikel menghasilkan peluang kerja yang sangat besar bagi masyarakat Indonesia.
Pernyataan Jokowi itu ditanggapi oleh Aliansi Sulawesi. Menurut Muhammad Al Amin, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Selatan, keuntungan itu tidak sebanding dengan daya rusak industri nikel. “Pernyataan itu keliru, tidak didasari fakta dan data di lapangan,” ucap Al Amin dilangsir Tempo, Sabtu, 19/8/2023.
Ia mengatakan saat ini ribuan petani dan nelayan kehilangan mata pencahariannya akibat pembangunan smelter nikel.
Itu terbukti dengan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2022 yang menunjukkan angka kemiskinan di Sulawesi Selatan mencapai 8,70 persen, Sulawesi Tengah 12,33 persen, dan di Sulawesi Tenggara 10,11 persen, padahal tiga provinsi itu merupakan penghasil nikel terbesar.
“Aktivitas tambang nikel di Sulawesi semakin meningkat dan tak terkendali lagi. Hutan dirusak, sungai tercemari logam berat dan laut dicemari lumpur,” tandasnya
Dia menuturkan, tidak hanya sebagai sumber ekonomi dan penyangga bagi kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai habitat yang sangat esensial bagi flora dan fauna endemik Sulawesi. Menurutnya, hampir seluruh aktivitas tambang nikel di Sulawesi dilakukan tanpa memperhatikan aspek perlindungan bagi keanekaragaman hayati.
Bahkan, atas nama hilirisasi, pemerintah malah menerbitkan izin usaha pertambangan di dalam kawasan hutan. Hasil kajian dan data Aliansi Sulawesi, pemerintah telah menerbitkan 188 IUP di dalam kawasan hutan di wilayah Kabupaten Luwu Timur (Sulawesi Selatan), Kabupaten Konawe dan Konawe Utara (Sulawesi Tenggara), serta Kabupaten Morowali dan Morowali Utara (Sulawesi Tengah).
Adapun luas kawasan hutan yang dikorbankan pemerintah untuk menyuplai ore nikel ke smelter-smelter di Sulawesi seluas 372.428 hektare. “Presiden sama sekali tidak melihat hutan hujan dan ekosistem lainnya yang setiap hari rusak akibat tambang nikel,” ucap dia.
Hal senada dikatakan Direktur Walhi Sulawesi Tengah, Sunardi. Ia mengungkapkan bahwa hilirisasi nikel membuat polusi udara dan air tercemar. Aktivitas smelter telah membawa material mentah nikel dalam bentuk ore yang diambil dari daerah ultrabasa.
“Seharusnya udara yang bersih dan sehat menjadi hak masyarakat,” ujarnya
Kehadiran hilirisasi nikel, menurutnya, cenderung menampung ore nikel yang mencemari air, baik dari hulu penambangan nikel maupun di hilir pabrik smelter. Pengendalian racun dari limbah cair yang sangat buruk ini memberikan kerentanan dan risiko yang berbahaya bagi kehidupan masyarakat di Pulau Sulawesi.
“Kami menemukan rata-rata perusahaan smelter di Sulawesi tidak memiliki standar dan sistem pengelolaan limbah yang baik,” ujarnya
Saat ini perusahaan smelter nikel yang beroperasi di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan diketahui berasal dari Cina, Brasil, dan Jepang. Namun, hilirisasi mineral nikel di Indonesia saat ini didominasi oleh perusahaan Cina.
Catatan Aliansi Sulawesi, sekitar 80 persen perusahaan Cina menguasai smelter nikel di Indonesia. Misalnya Sulawesi Tengah dan Tenggara dikuasai oleh Tsingsang dan Delong Group, sedangkan di Sulawesi Selatan ada Huady Group. “
“Aktivitas perusahaan-perusahaan smelter Cina ini perlu dievaluasi oleh pemerintah,” tegasnya.
Andi Rahman, Direktur Walhi Sulawesi Tenggara menambahkan bahwa perusahaan tambang nikel yang menyuplai bijih nikel ke smelter Cina adalah pengusaha nasional.
Artinya, pihak yang paling besar mendapatkan keuntungan dari aktivitas jual beli ore nikel di Sulawesi adalah mereka. Bahkan, pemerintah memberi jalan mudah untuk merusak lingkungan karena perusahaan itu tidak memiliki standar perlindungan sosial dan lingkungan.
“Jadi yang diuntungkan bukan masyarakat lokal, dan sawah dan kebun masyarakat malah digusur.” punkasnya (ror)