Oleh Syamsul Noor
URAIAN dan ulasan dalam tulisan ini bercorak retrospektif (flashback; ke belakang) sekaligus introspektif (futuristik; ke depan). Tulisan ini bertolak dari fakta arkeologis dan fakta ekologis, yang dapat dibuktikan dengan artefaktual baik berupa prasasti maupun manuskrip kuno.
Ada beberapa batu prasasti yang secara tekstual berhubungan dengan angle (sudut pandang dari tematik) tulisan ini. Prasasti dimaksud, antara lain Prasasti Talang Tuwo (684 Masehi); Prasasti Kedukan Bukit (682 Masehi); Prasasti Kambang Unglen 1 (tidak berangka tahun); dan Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun tapi para arkeolog memperkirakan berasal dari abad ke-7 atau abad ke-8 Masehi).
Prasasti Talang Tuwo
Prasasti Talang Tuwo ditemukan oleh Louis Constant Westenenk (Residen Palembang) pada 17 November 1920 di kaki Bukit Siguntang dan dikenal sebagai salah satu peninggalan dari Emperium/Kadatuan Sriwijaya. Keadaan fisik batu masih baik dengan bidang datar bertulisan berukuran 50 cm × 80 cm. Prasasti ini berangka tahun 606 Saka (23 Maret 684 Masehi), ditulis dalam Aksara Pallava, bahasa Melayu Kuno, dan terdiri dari 14 baris.
Van Ronkel dan Bosch merupakan orientalis pertama yang membaca dan mengalihaksarakan prasasti tersebut. Lalu bacaan dia dimuat dalam Acta Orientalia. Sejak 1920 prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional Indonesia di Jakarta dengan nomor inventaris D.145.
Batu Prasasti Talang Tuwo kini tersimpan di Museum Nasional Indonesia.
Hermeneutika (wilayah pemaknaan/penafsiran) tekstual dari suatu prasasti tidak dapat dipisahkan dari aspek demografi, ekologi, sosial, dan.
bahkan kultur masyarakat dari in situ (area titik nol) prasasti itu ditemukan.
In situ (area titik nol) dari empat prasasti tersebut adalah kawasan Palembang, masyarakat pemukimnya sebagian bermata pencaharian sebagai pedagang dan sebagian lagi bertani/berladang.
Melalui pendekatan jurnalistik 5W1H (who; what; when; where; why; dan how) dapat dianalisis cognitive content (kandungan isi pikiran) dari teks masing-masing prasasti.
~ Who: Sri Jayanasa
~ What: masalah ekologi/demografi.
~ When: Tahun 684 M (abad ke-7 M).
~ Where: Kota Palembang.
~ Why: ? (kajian hermeneutik).
~ How: ? (kajian ipoleksosbud)
Sri Jayanasa dalam Talang Tuwo (684 M) dan Dapunta Hyang dalam Kedukan Bukit (682 M) adalah tokoh yang sama. Secara linier (berbanding lurus), tokoh Dapunta Sailendra yang dikenal di Jawa (silsilahnya tersebut dalam Prasasti Sojomerto; ditemukan di Batang, Jawa Tengah) adalah juga tokoh yang sama dengan Dapunta Hyan (Kedukan Bukit).
Sailendra adalah nama asli dan setelah menaiki tahta kerajaan Sriwijaya sebagai Maharaja Sriwijaya, Sailendra memakai gelar Dapunta Hyan Sri Jayanasa. Sailendra dalam Sojomerto memahatkan siapa dirinya dalam bahasa Melayu Kuno, menggunakan aksara Kawi (turunan aksara Pallawa).
Dapunta Sailendra (dalam Sojomerto) menyebut bapa-nda (ayahnya) bernama Santanu dan mama-nda (ibunya) bernama Bhadrawati serta bini-nda (isterinya) bernama Sampula.
Santanu adalah seorang resi pendiri sekaligus raja pertama Kerajaan Indraprahasta (sekarang termasuk kawasan Cirebon). Santanu berdasarkan Pustaka Rajya Rajya Nusantara disebut mempersunting puteri dari raja terakhir Kerajaan Salakanagara, bernama Putri Bhadrawati. Sang anak Sailendra sebelum mendirikan Sriwijaya menikah puteri sulung dari Ratu Maharani Shima (Kalingga), bernama Sampula.
Dengan ditemukannya prasasti Sojomerto telah diketahui asal keluarga Sailendra dengan pendirinya Dapunta Selendra. Menurut Boechari, prasasti Sojomerto berasal dari sekitar pertengahan abad ke-7 Masehi.
Nama Sri Jayanasa dalam teks Prasasti Talang Tuwo merupakan dua kata pada akhir dari nama gelar. Sedangkan dua kata pada awal dari nama gelar, yaitu Dapunta Hyan terpahat pada Prasasti Kedukan Bukit. Dari dua prasasti itu (Talang Tuwo dan Kedukan Bukit) para arkeolog mendapatkan empat kata nama gelar, yakni Dapunta Hyan Sri Jayanasa.
Sriwijaya Berdiri
Adik dari Sampula, yaitu Sanaha mewarisi tahta Kalingga dan dipersunting oleh Raja Bratasenawa (dari Kerajaan Galuh). Putera Mahkota dari hasil pernikahan Bratasenawa dan Sanaha, bernama Sanjaya (kerap pula disebut Rakai Dyah Mataram).
Secara intertekstual, dapat dikatakan Sanjaya adalah keponakan ipar dari Dapunta Sailendra. Setelah menaiki tahta sebagai pewaris sah dari Kalingga, Sanjaya memindahkan pusat pemerintahan dan mengubah nama kerajaan menjadi Medang Kamulan.
Sanjaya juga mempererat tali kekeluargaan dengan Dapunta Sailendra, yaitu dengan mempersunting puteri dari Raja Dewasingha (penguasa Kanjuruhan: Kalingga bagian Selatan). Dewasingha diprediksi para ahli sejarah putera dari pernikahan antara Sampula dan Dapunta Sailendra (Prasasti Kanjuruhan, abad ke-8 Masehi).
Di belakang hari putera dari pernikahan antara Raja Sanjaya dan Dewi Sudiwara, bernama Rakai Panamkaran. Menurut Poerbatjaraka, Sanjaya dan keturunan-keturunannya adalah dari keluarga Sailendra, asli Nusantara penganut agama Siwa. Tetapi sejak Paņamkaran berpindah agama menjadi penganut Buddha Mahayana, sebagian raja di Medang menjadi penganut agama Buddha Mahayana.
Pada 09 Mei 669 Masehi, Sailendra (Dapunta Hyan) juga mempersunting dan memboyong puteri ke-2 Raja Linggawarman VIII (raja terakhir Kerajaan Tarumanegara), bernama Dewi Sobakancana.
Pada saat itu pula diselenggarakan penobatan Dapunta Hyan sebagai Raja Sriwijaya bergelar Dapunta Hyan Sri Jayanasa. Bersamaan dengan itu Puteri ke-1 dari Raja Linggawarman VIII, bernama Dewi Manasih dipersunting oleh Raja Tarusbawa (penguasa dari Kerajaan Sunda).
Ikatan kekeluargaan antara Raja Sanjaya dan Dapunta Hyan makin kuat, dengan pernikahan antara Raja Sanjaya dengan puteri dari Raja Tarusbawa. Dari pernikahan itu lahirlah seorang putera mahkota, bernama Rakyan Panaraban.
Analisis itu didasarkan pada isi manuskrip Carita Parahiyangan yang menyebutkan, Rakai Sanjaya menyuruh anak keturunannya (Rakai Panamkaran; Rakai Panaraban atau Rakai Tamperan) untuk berpindah agama karena agama yang dianutnya (aliran Saiwa) ditakuti oleh semua orang.
Bukti Rakai Panamkaran berpindah agama dari aliran Siwa menjadi Buddha Mahayana juga sesuai dengan teks Prasasti Raja Sankhara (koleksi Museum Adam Malik yang kini hilang).
Teks Prasasti Canggal (732 Masehi) menyebutkan, Sanjaya mendirikan sebuah lingga di bukit Sthiranga untuk tujuan dan keselamatan rakyatnya. Disebutkan pula bahwa Sañjaya memerintah Jawa menggantikan Sanna; Raja Sanna mempunyai saudara perempuan bernama Sanaha yang kemudian dinikahi oleh Bratasenawa (Raja Galuh) dan melahirkan Sanjaya.
Dari trah geneologis tersebut dapat disimpulkan latar belakang dari Rakai Panamkaran diberi gelar Sailendravamsa Tilaka (Permata Keluarga Sailendra) pada Prasasti Kalasan (778 M).
Dari Prasasti Sojomerto dan Prasasti Canggal telah diketahui nama orang yang bertalian dengan Medang (Mataram), yaitu Dapunta Sailendra, Santanu, Bhadrawati, Sampula, Sanna, dan Sanjaya. Raja Sanjaya mulai berkuasa di Medang pada 717 Masehi.
Esensi Saluran Air dan Sungai
Berikut isi teks Prasasti Talang Tuwo (684 M) yang menyoal esensi Saluran Air dan Sungai , “… dan semoga juga tanaman-tanaman lainnya dengan saluran-saluran air dan sungai-sungainya, dan semua amal yang saya berikan, dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk.
Secara implisit Maharaja Sriwijaya Dapunta Hyan Sri Jayanasa menyatakan, Saluran-saluran Air dan Sungai-sungai dan semua yang ia kerjakan (yang secara demografis masih mengalir di seluruh kawasan Seberang hilir Kota Palembang) semoga dapat digunakan untuk kebaikan semua makhluk.
Melalui ilmu komunikasi modern dan semiotika (ilmu tentang penandaan), teks prasasti itu memiliki fakta kontekstual dengan situasi dan kondisi Kota Palembang saat ini.
Terdapat jejak lanskap hasil buatan/proses alamiah tanpa campur tangan manusia, yang dalam Semiotika disebut Indeks (Index). Ada pula jejak lanskap hasil proses kreativitas budaya manusia, disebut Ikon (Icon).
Sangat logis apabila permasalahan yang dihadapi kota Palembang hari ini memiliki hubungan linear dengan peristiwa/kejadian pada ratusan atau ribuan tahun lalu.
Berapa usia Kota Palembang pada 2024? Apa yang menjadi dasar kebijakan politis (Peraturan Daerah; Perda) sehingga terjadi penetapan titik 0 sehingga menjadi sekian ribu tahun?
Andai jawabannya berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit (682 M), silakan baca ulang teks prasasti itu dan coba tafsirkan secara semiotika dan intertekstual.
Penetapan 682 Masehi sebagai patokan tidaklah salah tetapi penetapan itu keliru karena mengabaikan fakta yang jauh lebih rasional. Dalam Kroniknya I’tsing menulis, pada 671 M ia sudah mengunjungi Sriwijaya. Jadi tegasnya, pada 682 M itu Sriwijaya sudah ada atau sudah eksis. Artinya penetapan 682 M menjadi batal demi hukum dan demi orisinalitas sejarah.
Apabila disebutkan Kedatuan Sriwijaya berdiri pada 09 Mei 669 Masehi, tentu mesti ada sumber arkeologisnya walaupun tidak sekuat prasasti. Sumbernya adalah Carita Paraton, Carita Parahiyangan, dan Pustaka Rajya Rajya I Bumi Nusantara. Prasasti dan manuskrip dihubungkan secara linier berdasarkan urutan waktu dan sebagai diskursus intertekstual maka dijumpai penanggalan 09 Mei 669 Masehi.
Semiotis (penandaan) jauh lebih relevan dan linear dengan peristiwa sebelumnya, yang menyertainya, dan terjadi selanjutnya.
Index dan Ikon berkaitan dengan saluran-saluran air dan sungai-sungai hingga saat ini, kendati banyak pula situs/area yang berubah dan hilang, tetapi masih dapat disaksikan di Kota Palembang.
Begitu pula topografi vijayanagara (sebutan kotanegara atau ibukota pada zaman Sriwijaya) masih dapat dibuat sketsanya, prediksi luas wilayahnya, batas-batasnya, dan sebagainya berdasarkan indeks dan ikon titik nol temuan artefak/situs arkeologisnya.
Secara ekologis, geologis, dan demografis Kota Palembang dialiri Fo-shi (Sungai Musi) nyaris tepat di tengah (center; 0,0 Km). Aliran Sungai Musi membelah kota menjadi dua bagian, hulu (ulu) dan hilir (Ilir).
Dalam kosmologi Budha, mandala ulu dan mandala Ilir diumpamakan dengan dua energi/kekuatan yang ambivalen (saling berlawanan), yaitu panas (api) dan dingin (air).
Mandala api dan air tersebut agar terbina suatu homeostatis (daur keseimbangan) mesti dikelola sesuai dengan zat dan sifat agar tercipta dharma dan karsa yang selaras dengan kehendak alam.
Sang Acharya (Mahaguru) Dharmakirti (di Dalai Lama dikenal dengan nama Dharmaraksita) lewat kitab yang ia susun, berjudul The Dharma Wheels (Lingkaran Darma) mengajarkan Delapan Darma, yakni menyerupai delapan arah mata angin.
Ajaran Delapan Darma tersebut tidak bertentangan dengan ajaran apa pun dan secara singkat dapat dijabarkan, sebagai berikut:
(1) Pangetahuan Benar (samma-ditthi)
(2) Kehendak/Hasrat Benar (samma-sankappa)
(3) Perkataan Benar (samma-vaca)
(4) Perilaku Benar (samma-kammanta)
(5) Rezeki Benar (samma-ajiva)
(6) Ikhtiar Benar (samma-vayama)
(7) Pemikiran Benar (samma-sati)
(8) Kontemplasi Benar (samma-samadhi)
Lebih ke belakang lagi, yakni dalam abad ke-8 di Sriwijaya juga hidup Acharya (Mahaguru) Sakyakirti. Beliau termasuk salah seorang di antara tujuh pemikir Budha paling berpengaruh di dunia versi Universitas Nalanda, India.
Atas titah Maharaja Dapunta Hyan Sri Jayanasa beliau ditunjuk sebagai penyusun dan penulis teks prasasti, di antaranya Prasasti Kedukan Bukit (682 M), Prasasti Talang Tuwo (684 M), Prasasti Boom Baru (tidak berangka tahun), Prasasti Telaga Batu I dan II, Prasasti Kambang Unglen 1, Lembaran-lembaran Siddhayatra, dan lain-lain.
Semua prasasti dan lembaran itu Sriwijayaditulis dengan gaya penulisan aksara, bahasa, pembuka (prolog) teks, dan penutup (epilog) teks, dan penyematan simbol pada awal/akhir teks yang sama.
Dari teks Prasasti Kedukan Bukit dijumpai kalimat berbunyi “Crivijaya Jayasiddhayatra Subhiksa” (Sriwijaya berhasil dalam Perjalanan Suci secara gemilang).
Ungkapan bertendensi nyaris serupa dijumpai dalam teks Prasasti Kambang Unglen 1, berbunyi “Crivijaya Jayasiddhayatra sarwwa sattwa” (Sriwijaya berhasil dalam Perjalanan Suci buat semua makhluk).
Hermeneutika (ruang lingkup pemaknaan) dari dua ungkapan itu secara implisit menunjuk pada esensi perjalanan hidup manusia pada dasarnya merupakan suatu perjalanan suci mewujudkan hasil guna buat semua makhluk, baik yang hidup di darat, di air, maupun di udara (terbang). Hasil guna dimaksud berupa kesehatan dan kesejahteraan.
Semua nilai berkategori universal itu merupakan kecerdasan lokal Sriwijaya. Penulis memandang diskursus atau khasanah nilai-nilai luhur itu sebagai suatu warisan faktual dan aktual berupa kekayaan literasi sekaligus terminologi aktual dari pembangunan berwawasan Sriwijaya.
Mengenai dua bidang urgen yaitu (a) Pusat Pendidikan dan (b) Pusat Pelatihan Beladiri dan Militer, di era Sriwijaya akan penulis ulas dalam tulisan dengan judul tersendiri, sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari tema Pembangunan Berwawasan Sriwijaya. *