Oleh : Syamsul Noor Al-Sajidi
BANDAR kuno ini terletak di ujung barat laut Pulau Sumatra, di pintu masuk Selat Malaka yang terkenal sangat ramai lalu lintas pelayarannya. Dengan lokasinya yang strategis sebagai jalur pelayaran dari India ke Cina ini, wajar saja Bandar Lamuri dahulu merupakan salah satu bandar terpenting. Ketika kerajaan Islam berdiri nama bandar ini berubah menjadi Aceh Darussalam.
Keberadaan bandar tua ini telah disebut dalam sebuah Prasasti Tanjore dari India peninggalan Kerajaan Chola pada masa pemerintahan Rajendracola, berangka tahun 1030 Masehi, “… setelah mengirim banyak kapal ditengah laut bergelombang dan setelah menawan Sanggramavijayottunggavarman, Raja Kadaram (Kedah, Sriwijaya), bersama dengan gajah-gajah dalam pasukannya yang perkasa (mengambil) tumpukan besar harta benda berharga…Ilamuridesam kekuatannya yang dahsyat; Manakkavaram…dan Kadaram yang kekuatannya dahsyat, yang dilindungi oleh lautan dalam…”
Prasasti itu menyebut Lamuri dengan istilah Ilamuridesam. Ketika Rajendracola menyerang Sumatra, ia menghadapi resistensi dari pasukan setempat secara dahsyat.
Menurut prasasti ini, meskipun Lamuri mempunyai kekuatan besar, orang-orang Cola menyebutnya dengan istilah “desa.” Bandar Lamuri atau Bandar Aceh Darussalam, kemudian hari menjadi Banda Aceh adalah tempat berkumpulnya para saudagar yang berasal dari berbagai bangsa seperti Cina dan Tamil.
Adanya komunitas saudagar Tamil diketahui dari sebuah prasasti beraksara Grantha dan berbahasa Tamil yang ditemukan di Banda Aceh. Berdasarkan tipografinya, yaitu tata huruf yang digunakan, prasasti ini agaknya sezaman dengan prasasti batu yang ditemukan di Barus yang berasal dari 1088 Masehi.
Sayangnya prasasti Tamil dari Banda Aceh ini hingga kini belum bisa dibaca, namun bicara penanggalannya berdasar tipografinya diperkirakan berasal dari sekitar abad yang nisbi berdekatan. Secara geografis bandar ini sebenarnya sangat ideal bagi sebuah pelabuhan.
Pasalnya, selain terletak di sebuah teluk, tempat bermuaranya sungai, juga nisbi terlindung dari angin dan gelombang ombak besar. Di depannya terdapat tiga buah pulau. Tetapi justru pulau-pulau itu sangat mengganggu pelayaran masuk menuju bandar tua itu.
Sejarawan Belanda, de Graaf, pernah mendapat pengalaman yang kurang menyenangkan ketika hendak mendarat ke Aceh, setelah pelayarannya dari Malaka. Kapal yang ditumpanginya kandas di perairan Aceh.
Graaf mencatat kisah itu, “Ada pun kami yang berlayar dengan kapal Dragon itu, saat menuju Kerajaan Aceh, tetapi kapal kami kandas di karang-karang Pouloway, tetapi kami dapat menyelamatkan diri dengan perahu kami dan berdayung masuk ke Sungai Aceh. Waktu kemudian kami hendak kembali ke Batavia, nyaris celaka lagi.”
Mudah diduga, kata Pouloway yang disebutkan oleh de Graaf tentu merujuk pada keberadaan Pulau We yang berada di sisi utara Banda Aceh di Pulau Sumatra.*
*)Penulis adalah Ketua Departemen Data pada Pusat Kajian Sriwijaya FISIP UNSRI.