Jakarta – KPU menagapi Bawaslu mendukung pembuatan aturan penjabat (Pj) kepala daerah tidak boleh ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 nati.
Menurut Komisioner KPU RI Idham Holik, aturan itu bukan hal yang baru. Ia mengatakan aturan tersebut sudah tercantum pada Undang-undang (UU) Nomor 10 tahun 2016.
Baca Juga : Ada Hotel di IKN, Jokowi: Ini Pembangunan ke Dua
Tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 1 tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi UU.
“UU tersebut telah diundangkan sejak 1 Juli 2016. Artinya bukan wacana baru, sudah ada sejak lama dan norma tersebut telah diimplementasikan pada Pilkada Serentak 2017, 2018, dan 2020,” ujar Idham dikutip
CNNI, Minggu 24/9/2023.
Idham menjelaskan Pasal 7 ayat (2) huruf q UU Nomor 10 Tahun 2016 telah mengatur ketentuan di mana seorang bakal calon kepala daerah atau bakal calon wakil kepala daerah tidak berstatus sebagai penjabat (Pj) kepala daerah.
“Maksud ketentuan ini mencegah penjabat Gubernur, penjabat Bupati, dan penjabat Walikota mengundurkan diri untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota, atau Wakil Walikota,” jelasnya
“Ketentuan tersebut merupakan norma yang memitigasi potensi abuse of power. UU Pilkada ingin menjaga terwujudnya kepemimpinan pemerintah daerah yang berintegritas pada saat dipimpin oleh penjabat kepala daerah,” imbuhnya
Lebih lanjut, Idham mengatakan, KPU akan melakukan sosialisasi ketentuan yang telah diatur tersebut.
Baca Juga : Yuk..Kenali IKN Nusantara: Arti, Letak dan Otoritanya.
Dilangsir halaman CNNI Sebelumnya Bawaslu mendorong pembuatan aturan Pj kepala daerah tak boleh ikut Pilkada 2024.
Hal itu disampaikan Plt. Kepala Pusat Penelitian Pengembangan Pendidikan dan Pelatihan Bawaslu Rahmat Jaya Parlindungan Siregar pada peluncuran pemetaan kerawanan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 di Manado, Sulawesi Utara, Kamis, 21/9/2023
Menurut Rahmat, pada dasarnya Pj itu bukan pejabat politik, tetapi pejabat administratif yang bertugas melaksanakan pelayanan pemerintahan di daerah.
Rahmat mengklaim mendengar kabar angin atau diskusi soal adanya Pj yang akan maju pada Pilkada 2024. Menurutnya, para Pj ini berpotensi melakukan investasi infrastruktur politik ketika menjabat.
“Apakah itu perlu diperhatikan. Misalnya, kalau itu dibangun sebagai infrastruktur politik untuk ke depan, maka mungkinkah kita harus berpikir bahwa ada aturan yang mempertegas,” ungkapannya.
“Pejabat pemerintah yang posisinya sebagai Pj itu misalnya ditegaskan dalam aturan legal-formalnya tidak boleh maju di dalam Pilkada berikutnya,” sambungnya
Rahmat menilai itu berpotensi terhadap isu yang hari ini akan kita launching tentang netralitas ASN. Dia mengatakan meski belum terjadi, hal itu menjadi indikasi yang cukup kuat dan perlu menjadi catatan dalam proses dialektika demokrasi ke depan.