JAKARTA,MSINEWS.COM-GURU BESAR IPDN sekaligus mantan Dirjen Otonomi Daerah, Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, menyoroti maraknya kembali fenomena flexing pejabat maupun keluarganya di ruang publik, terutama media sosial.
Menurutnya, himbauan pemerintah yang disampaikan oleh Mendagri Tito Karnavian pada media masa beberapa waktu lalu agar pejabat hidup sederhana tak akan berarti apa-apa bila hanya sebatas retorika tanpa dasar regulasi dan program yang jelas.
“Himbauan lemah tidak punya dasar regulasi dan tidak punya program yang bisa diikuti pejabat pusat dan daerah. Kalau hanya imbauan, tanpa pedoman perilaku, orang bisa memaknainya bebas-bebas saja,” ujar Prof. Djo dalam perbincangan dengan wartawan.
Perlu Pedoman Perilaku dari Presiden, Kepala Daerah, hingga Anggota DPR/DPD/DPRD dan ASN.
Prof. Djo menekankan pentingnya kehadiran pedoman perilaku penyelenggara negara atau “government ethics” yang dijalankan di level Presiden, sehingga diikuti oleh seluruh pejabat di pusat maupun daerah, yaitu menerapkan pola hidup sederhana dengan konsisten.
“Etika penyelenggara negara dalam praktek di mancanegara disebut “the government ethics”. Itu pedoman berperilaku yang jelas. Kalau memang pola hidup sederhana dianggap penting, harus segera dibuat program dan aturan mainnya,” tegasnya.
Ia mencontohkan, pada era Presiden Soeharto, program hidup sederhana pernah masuk dalam agenda kabinet, meski kemudian dilupakan. “Sayang, saat ini agenda itu menghilang Asta Cita maupun Nawa Cita tak mencantumkannya, dan kambuh lagi perilaku sebaliknya, yakni gaya hidup berlebihan yang dipamerkan pejabat atau keluarganya,” kata Prof. Djo.
Dari Urusan Pribadi hingga Tugas Negara
Pedoman hidup sederhana, lanjutnya, seharusnya mencakup semua aspek: mulai dari urusan pribadi pejabat dan keluarga, penyelenggaraan pesta pernikahan, pengaturan kendaraan, hingga perjalanan dinas ke luar negeri untuk acara yang tak penting-penting amat. Semua itu, menurut Prof. Djo, wajib menjadi bagian dari program kabinet agar jelas arah kebijakan dan contoh perilaku yang ditampilkan ke publik.
“Pemimpin nomor satu di pusat dan daerah harus memberi teladan. Ingat, rakyat bilang penyelenggara negara itu karyawannya, yang bekerja untuk rakyat dari hasil pungutan pajak,” ujarnya.
ASN Sudah Punya Pedoman, Pejabat Politik Tidak
Prof. Djo menilai aparatur sipil negara (ASN) sebenarnya sudah dibekali pedoman perilaku sejak tahap prajabatan, karena status mereka adalah abdi negara. Namun persoalan muncul ketika pejabat politik, terutama dari kalangan non-ASN seperti politisi, artis, atau selebriti yang jadi anggota dewan, mereka langsung masuk ke jabatan publik tanpa melalui proses internalisasi etika yang memadai.
“Biasanya justru di luar ASN yang sering glamour. Politisi-seleb yang sebelumnya terbiasa hidup mewah, lalu masuk sebagai pejabat negara, tidak cepat bisa menyesuaikan diri. Mereka tidak punya dasar pembekalan etika seperti ASN,” paparnya.
Menurutnya, hal ini yang membuat banyak kasus flexing dan gaya hidup mewah muncul dari kalangan pejabat publik non-ASN. Karena itu, ia menyarankan agar partai politik juga menyiapkan mekanisme pembekalan etika penyelenggara negara bagi kadernya, terlebih bagi artis atau figur publik yang akan duduk di parlemen.
Pentingnya Kontrol dan Pengawasan
Meski pedoman dibuat, Prof. Djo menegaskan implementasi tetap harus diawasi. Tanpa mekanisme kontrol dan pengawasan yang terstruktur, baik di pusat maupun daerah, regulasi tersebut hanya akan berhenti di atas kertas.
“Pengawasan lembaga pemerintahan utamanya para pimpinan harus ketat terhadap bawahannya, tapi masyarakat juga ikut mengamati sebagai “watch dog”. Jika ada pedoman perilaku resmi, publik bisa menilai apakah pejabat mematuhinya atau tidak,” katanya.
Dengan demikian, negara tidak cukup hanya memberi himbauan, melainkan harus membuat regulasi UU Etika Pemerintahan yg bisa jadi pedoman perilaku penyelenggara negara. Hal ini untuk mencegah terulang dan terulangnya lagi kasus flexing pejabat dan keluarganya yang memicu kegaduhan sosial, sekaligus menegakkan kepercayaan publik bahwa pejabat punya empati dan memang layak menjadi teladan bagi rakyat.**