Catatan Akhir Tahun 2024, Tentang Buruh Perkebunan Sawit

oleh
banner 468x60

Jakarta,msinews.com-Sejumlah aktivis Jaringan Sawit, diantaranya Transnational Palm Oil Labour Solidarity (TPOLS), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SPSI), Sawit Watch, dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), menggelar Konferensi Pers bertema ”Catatan Akhir Tahun Buruh Perkebunan Sawit” di Jakarta, Jum’at (27/12/2024).

Dalam Siaran Pers Bersama yang disampaikan melalui grup whats app PWI ETIKA, disebut berbagai corak purbakala khas kolonialisme masih ditemui di Perkebunan Sawit saat ini.

banner 336x280

Adapun, struktur dan peristilahan kolonial seperti Afdeling atau Komidel adalah bagian dari keseharian masyarakat kebun. Walaupun industri ini sudah ratusan tahun lamanya, kondisi buruh Perkebunan Sawit masih jauh dari ideal.

Sejulah pertanyaan pun muncul,seperti Bagaimana kondisi buruh dan masyarakat kebun? Apa saja ciri khas yang dapat ditemui di antara berbagai kebun yang tersebar di wilayah-wilayah berbeda? Bagaimana perkembangan-perkembangan industri sawit di pasar global dan siapa yang menikmati hasilnya? Apa saja upaya-upaya mengatur pasar sawit global dan apa dampaknya bagi buruh dan masyarakat kebun?.

Maka, dalam rangka menjawab pertanyaan itu, serikat-serikat buruh, pejuang agraria dan kelompok sipil yang tergabung dalam Jaringan Solidaritas Transnasional Buruh Sawit (TPOLS) berupaya memberikan ulasan hal-hal penting seputar buruh Perkebunan Sawit yang terjadi sepanjang tahun 2024.

Koordinator TPOLS, Rizal Assalam , menyampaikan bahwa hasil catatan Jaringan TPOLS, yang menunjukkan terdapat enam ciri khas industri Perkebunan Sawit yang merusak, temuan-temuan ini masih relevan dengan adanya kumpulan kasus yang ditemui pada tahun 2024 ini.

Pertama, kondisi kerja yang buruk terkait upah rendah.’

Kedua, eksploitasi berdasarkan gender dan kondisi kerja mematikan

Ketiga, cacat sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan proses audit yang dimanipulasi,

Keempat, ekspansi Perkebunan Sawit, pertanian kontrak/ plasma, dan konflik tanah,

Kelima, penggunaan kekerasan berlebihan oleh aparat keamanan,
Keenam, ketidakbebasan berserikat dan pemberangusan serikat.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal KPBI, Damar Panca, menyebut, tidak adanya perlindungan terhadap buruh kebun sawit tersebut diakibatkan oleh regulasi nasional yang buruk.

“UU Cipta Kerja telah memperkokoh praktek eksploitatif di Perkebunan dengan memberikan landasan hukum yang membenarkan perekrutan buruh kasual/ musiman dengan upah satuan hasil dan satuan hari kerja,” tegasnya.

Disebutkan bahwa, regulasi tingkat global seperti Regulasi Uni Eropa tentang Anti Deforestasi (European Union Deforestation Regulation/ EUDR) dan Arahan Kewajiban Uji Tuntas Keberlanjutan Perusahaan (Corporate Sustainability Due Diligence Directive/ CSDDD) yang diterapkan beberapa tahun ke depan memunculkan pertanyaan terkait dampaknya dan mekanisme perlindungan buruh.

Lanjutnya, pertemuan jaringan TPOLS dengan perwakilan dari Uni Eropa awal Desember lalu menegaskan, bahwa regulasi internasional perlu memiliki akses terhadap keadilan yang bisa diakses oleh serikat buruh.

“Penyerahan aspek perlindungan buruh pada peraturan nasional tidak akan efektif, disituasi ketika peraturan nasionalnya tidak berpihak pada buruh,” tegas Uli Arta Siagian dari Walhi Eksekutif Nasional.

Dijelaskan pula, bahwa kekosongan hukum ini mendapat perhatian dari Sawit Watch. Hotler “Zidane” Parsaoran, dari Sawit Watch menggarisbawahi bagaimana UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang digunakan saat ini kurang representatif untuk melindungi buruh Perkebunan Sawit.

Menurutnya, lanskap dan kondisi kerja di Perkebunan Sawit cenderung berbeda dibandingkan industri sektor manufaktur.

“Hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Masalah-masalah dasar seperti hubungan kerja, K3, sanitasi, air bersih yang cukup, fasilitas kesehatan tidak disediakan dengan layak oleh perusahaan,” ungkap Zidane.

Sebelumnya, kata dia, telah ada upaya mendorong Rancangan Undang-Undang Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit.

“Pemerintah banyak memberi dukungan massif terhadap industri ini melalui kebijakan revitalisasi Perkebunan, pembangunan kawasan ekonomi khusus, pengembangan biodiesel hingga melobi negara-negara konsumen. Namun, dukungan tersebut tidak diikuti dengan kebijakan-kebijakan penting terkait perlindungan ketenagakerjaan untuk buruh Perkebunan Sawit,” sambung Zidane.

RUU ini,kata Zidane, perlu masuk dalam Prolegnas prioritas. Perlu transisi yang adil dalam industri Sawit, yang menyasar corak produksi eksploitatifnya.

Untuk diketahui, Deklarasi Sambas yang dikeluarkan oleh jaringan TPOLS yang berdiri tahun 2019 lalu itu sebagai acuan tuntutan-tuntutan, yang relevan untuk mewujudkan keadilan sosial dan ekologi di Perkebunan Sawit.

Sebagai informasi, Deklarasi Sambas merupakan kumpulan tuntutan untuk mewujudkan industri Sawit yang adil secara sosial, dan ekologis.**

Sumber: Siaran Pers
Editor ; Tim redaksi/dm.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *