Jakarta, MSINews.com – Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) secara tajam mempertanyakan langkah Ketua nonaktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri, yang menyerahkan dokumen penanganan kasus suap eks pejabat Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA) Kementerian Perhubungan dalam sidang praperadilan.
Menurut Koordinator MAKI, Boyamin Saiman, Firli diduga melanggar tiga undang-undang, yakni UU Keterbukaan Informasi Publik, menghalangi penyidikan pasal 21 UU KPK, dan melanggar kode etik.
Baca jug : Polda Metro Limpahkan Berkas Kasus Pemerasan Firli Bahuri ke Kejati
“Pak Firli mencoba membawa dokumen untuk menunjukkan bahwa penetapannya sebagai tersangka hanyalah kriminalisasi,” ujarnya, dikutip detik.com, Sabtu 16/12/2023.
Boyamin menegaskan bahwa Firli seharusnya tidak membawa dokumen kasus yang ditangani KPK ke dalam praperadilan.
“Ini barang rahasia, apalagi ini tersangka kasus korupsi membawa-bawa dokumen itu sudah salah, tidak boleh karena rahasia,” tandasnya.
Firli, yang masih menjabat sebagai Ketua nonaktif KPK, diduga menggunakan dokumen tersebut untuk membuktikan konflik kepentingan dalam penetapannya sebagai tersangka.
Namun, MAKI menilai bahwa kasus tersebut tidak relevan dalam praperadilan yang dijalani Firli.
Tiga Undang-Undang Dilanggar
Firli Bahuri dianggap melanggar Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Pasal 21 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU) Tipikor terkait merintangi penyidikan, serta Peraturan Dewas KPK RI Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Boyamin menjelaskan, kalau rahasia publik, ancamannya sekitar 3 tahun, tapi jika menghalangi penyidikan di atas 5 tahun. Artinya, dianggap kejahatan serius.
Polda Metro Jaya Mempertanyakan Bukti
Sebelumnya, Firli Bahuri menyerahkan bukti dokumen penanganan kasus suap eks pejabat DJKA dalam sidang praperadilan.
Kabid Hukum Polda Metro Jaya, Kombes Putu Putera Sadana, menyatakan kebingungannya terkait relevansi bukti yang disampaikan Firli dengan kasus korupsi yang membuatnya menjadi tersangka.
Putu menilai sebagian besar bukti yang diserahkan Firli tidak memiliki korelasi dengan kasus yang dibahas dalam sidang praperadilan.
Pihak kepolisian juga bertanya kepada ahli hukum pidana terkait dokumen yang diserahkan Firli, dengan penekanan pada apakah dokumen tersebut termasuk dokumen negara yang perlu dirahasiakan.
Ahli Hukum Pidana Tanggapi
Dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Junaedi Saibih, dan ahli hukum pidana dari Universitas Brawijaya, Fachrizal Afandi, turut memberikan pandangan mereka.
Junaedi mengatakan bahwa praperadilan seharusnya berkaitan dengan proses penetapan tersangka secara formil, bukan dokumen rahasia.
Fachrizal Afandi menegaskan bahwa jika dokumen penanganan kasus DJKA diperoleh secara legal, hal itu tidak menjadi masalah.
Namun, Junaedi menilai bahwa membawa dokumen rahasia dapat membahayakan proses penyidikan.
Baca juga : Ketua KPK Nonaktif Terlibat Pertemuan Rahasia dengan SYLÂ
Langkah Firli Bahuri dalam sidang praperadilan menuai kritik tajam dari MAKI dan memunculkan pertanyaan dari Polda Metro Jaya.
Sementara bukti yang diserahkan Firli dianggap tidak sesuai dengan materi yang dijadikan dasar praperadilan.
Kontroversi ini semakin menghangatkan perdebatan terkait kasus suap eks pejabat DJKA dan penetapan tersangka Firli Bahuri.