Media Pengawal Transparansi, Penafsir Informasi, dan Penjaga Etika Publik

oleh
banner 468x60

Oleh Ariawan, S.AP., M.M., M.H.,

DEMOKRASI tidak akan pernah tumbuh sehat tanpa kebebasan dan kehadiran media yang independen. Pers bukan sekadar pelengkap, melainkan pilar penting yang menopang sistem politik yang terbuka, akuntabel, dan partisipatif.

banner 336x280

Sebagai wartawan parlemen, kami berada di jantung dinamika politik nasional. Setiap hari kami menyaksikan langsung bagaimana keputusan yang memengaruhi kehidupan jutaan orang dilahirkan di ruang-ruang sidang DPR, MPR, dan DPD. Di sinilah kami berperan bukan hanya sebagai peliput, tapi juga sebagai pengawal transparansi, penafsir informasi, dan penjaga etika publik.

Dalam kegiatan Media Gathering yang kami selenggarakan bersama MPR RI di Lombok, Jumat (11/7), saya kembali menegaskan bahwa Koordinator Wartawan Parlemen (KWP) berkomitmen menjaga marwah profesi ini. Kami bukan alat propaganda, tapi juga bukan oposisi. Kami mitra kritis yang konstruktif.

Media memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran, menyuarakan yang tak terdengar, dan mengoreksi yang keliru. Tapi kami juga memahami bahwa kerja kebangsaan tidak dapat dilakukan sendiri. Kolaborasi adalah kunci, asalkan tidak menanggalkan independensi dan integritas.

Bukan Pencitraan, Tapi Edukasi

Saya sering ditanya, apakah wartawan sekarang hanya mengejar sensasi? Jawab saya: tidak semua. Banyak rekan-rekan yang tetap memegang teguh etika profesi. Namun kita memang menghadapi tantangan besar, mulai dari tekanan politik, intervensi ekonomi, hingga perubahan algoritma digital.

Dalam konteks itu, saya percaya bahwa wartawan, khususnya yang meliput parlemen, harus menjadi penggerak literasi politik. Salah satunya melalui narasi pembangunan dari daerah. Itulah sebabnya kami bersama Kesetjenan MPR, mengadakan Gathering Media yang kami beri tajuk “Penguatan Tata Kelola Sumber Daya Alam Melalui Publikasi Media dalam Mendukung Pembagunan Daerah”, di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Bahkan dalam forum ini, kami mengundang Gubernur NTB, H. Lalu Muhammad Iqbal, selain tentunya juga Sekretaris Jenderal MPR Siti Fauziah beserta jajaran. Kami ingin membuka ruang dialog antara media nasional dan pemerintah daerah untuk mengangkat potensi lokal secara adil dan utuh.

Cerita dari Lombok, dari Nusa Tenggara Barat, dari perbatasan atau pedalaman, layak mendapatkan panggung yang sama dengan isu-isu Jakarta. Ini bukan tentang pencitraan, tapi tentang keadilan narasi. Karena bangsa yang besar bukan hanya karena gedung tinggi di ibu kota, tapi juga karena sawah subur dan laut kaya di pelosok negeri.

Kritik Bukan Kebencian

Kami di KWP terus berupaya menjaga kualitas peliputan parlemen. Dari sekitar 580 wartawan yang meliput di Kompleks DPR/MPR, hanya sekitar 180 yang aktif di KWP. Artinya, seleksi alam terjadi. Dan bagi kami, gathering ini bukan sekadar agenda tahunan, tapi refleksi kolektif tentang profesi yang kami tekuni.

Saya tegaskan kembali: kritik dari media bukanlah bentuk kebencian. Itu adalah wujud tanggung jawab publik. Kritik yang tajam dan berbasis data adalah vitamin bagi demokrasi, bukan racun. Demokrasi bukan hanya tentang kebebasan menyuarakan pendapat, tapi juga tentang kesiapan mendengar. Begitu juga media, bukan hanya soal hak untuk melaporkan, tapi juga kewajiban untuk bersikap adil, akurat, dan berimbang.

Penutup

Kami di Koordinator Wartawan Parlemen percaya, masa depan demokrasi Indonesia terletak pada keterbukaan informasi, kejujuran komunikasi, dan kolaborasi antarlembaga. Kami siap bersinergi, tapi tidak akan berhenti mengkritisi. Karena itulah esensi jurnalisme dalam masyarakat demokratis: menjadi cermin yang jernih, bukan kaca buram yang menyenangkan. ***

*) Penulis adalah Ketua Koordinator Wartawan Parlemen (KWP). Ia aktif meliput kegiatan legislatif dan mempromosikan jurnalisme politik yang beretika dan edukatif.

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *