Oleh Syamsul Noor Fajri
SEBAGAIMANA Descartes, Frederick Hegel, Imanuel Kant, Karl Marx, Albert Einstein, Francis Bacon, Thomas Hobbes, Adam Smith, dan lain-lain, selaku makhluk ciptaan aku pun bisa hidup menjadi kafir (kaf fa ro). Apa maksudnya?
Maksudnya, jika dan hanya jika atas berkat iradat (kehendak) dan hidayah Sang Khaliqul Mutlaq Allah Azza wa Jalla semata-mata, aku secara _past, present,_ dan _future_ menjadi termasuk ke dalam golongan orang-orang beriman, yang disebut secara logosentrisme sebagai muslim.
Baru sekadar semacam sebutan atau pengakuanku sepihak. Karena predikat itu mengandung — Insya Allah, atas berkat pertolongan dan hidayah Allah SWT semoga penyandang predikat itu memang berhak dan pantas menyandangnya. Perkara muslim ataukah non-muslim bukanlah perkara sekadar fisik, melainkan ia dapat dibilang lebih kepada perkara metafisika (mungkin dalam beberapa aspek hermeneutikanya mungkin sama dengan supranatural).
Meminjam (jika dibolehkan) pernyataan dari Filsuf Descartes, “Cogito ergo sum.” Aku berpikir (oleh asbab itu) Aku ada. Berarti maunya Descartes, jika “Aku tidak menggunakan pikiran dan pemikiran” dapat dinyatakan “Aku tidak ada”. Dianggap “Aku tidak punya eksistensi, tidak punya ekspektasi, dan boleh jadi dianggap tidak sebagai numeral signifikans”. Sejak kapan Descartes tidak punya ulu-ilir seperti itu? Apakah tidak pendapat Descartes diametral dengan pendapat Sartre?
Berpikir tentu saja berhubungan lurus sekaligus berhubungan terbalik dengan potensi aqli (akal). Singkat kata, tidak berpikir sama artinya tidak menggunakan potensi akal. Tetapi, tidak berpikir tidak berarti gila atau tidak waras. Aspek intensi kritisnya terletak pada koherensi berpikir itu dengan ekstensinya.
Perkara seputar ini telah diulas panjang lebar oleh Ibnu Arabi, Al-Farabi, Alhazen, Al-Ghazali, dan lain-lain. Diskursus (khasanah wacana) para muslim filsuf terkemuka itu nyaris seirama dengan mainset pemikiran gerbong filsuf kosmosentrisme dan teosentrisme dari Barat.
Ibnu Arabi memperkenalkan konsep triade aqli-qalb-nafs. Apa beda isinya dengan konsep triade seni-agama-filsafat yang disorongkan oleh Hegel?
Jika dicari perbedaannya tentu saja ada. Kenapa bukan persamaannya atau irisannya yang dicari. Begitulah manusia, selalu ingin tampil beda. Padahal Nabi Sulaiman a.s. bersabda, “Tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Artinya semuanya — apa pun itu — hanya merupakan pengulangan, pengulangan, dan pengulangan.
Tunggu dulu, Nabi Isa Al-Masih a.s. beberapa ratus tahun setelah Nabi Daud a.s. dan Nabi Sulaiman a.s. secara antitesis bersabda, “Waspadalah terhadap segala sesuatu pengulangan. Orang-orang jahat bertanya tentang tanda-tanyanya. Tidak diberikan tanda-tanda, kecuali tanda Yunus. Bangkit setelah empat hari berada di dalam gua. Dia datang tidak sebagai anak manusia. Dia muncul sebagai Cahaya dan mengaku sebagai Iosa Mesiah (dalam Bahasa Ibrani) dan Yesus Kristus (dalam Bahasa Romawi),”
Nabi Isa Al-Masih a.s. juga bersabda kepada ke-12 muridnya dari Bani Israil, “Camkan baik-baik peringatanku. Aku sudah mengatakannya kepada kalian. Jika ada orang mengatakan telah bertemu Yesus, melihat Yesus, jangan kalian percaya. Dia akan menyesatkan banyak orang, bahkan orang-orang pilihan juga.”