Jakarta,msinews.com– Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Provinsi Papua Pegunungan, Ismail Asso kembali angkat bicara soal hak politik Orang Asli Papua (OAP) di Pilkada 2024.
Anggota MRP yang membidangi Pokja Agama Islam ini mengaku jauh sebelumnya telah menyesuarakan aspirasi masyarakat tentang Kepala Daerah baik Gubernur/Wakil Gubernur,Bupati/Wakil Bupati,dan Wali Kota/Wakil Wali Kota wajib Orang Asli Papua (OAP).
” Saya bicara dalam kapasitas sebagai Anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Pegunungan dimana janji dan saya harus memperjuangkan hak-hak politik orang Asli Papua,” kata Ismail Asso mengawali perbincangannya, Jumat (28/6/2024) dalam sebuah program wawancara dengan media massa.
Dikatakan,berangkat dari sejarah, bahwa sejatinya Undang-Undang Otonomi Khusus (OTSUS) itu adalah undang-undang yang bersifat diskriminatif tapi diskriminatif yang positif.
“Saya melihat pemerintah pusat sejatinya tidak konsisten dan tidak konsekuen melaksanakan Undang-Undang Otonom Khusus kepada masyarakat Papua. Terbukti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sebagaimana Undang-Undang Nomor 25. Jadi, uang yang dikucurkan di sana untuk pertanggungjawabannya itu tidak ada. Sehingga para bupati itu menjadi raja-raja kecil yang ada di daerah. Sementara rakyat Papua itu mungkin yang di seluruh Indonesia paling terbelakang, primitif paling miskin, paling tidak sehat, paling tidak aman dalam kehidupan mereka.” urai Ismail.
Padahal negara didirikan bertujuan untuk melindungi segenap warga negara Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Sehingga kewajiban negara dalam hal ini aparat penegak hukum wajib melindungi orang Papua, tetapi dalam prakteknya isu-isu kekhawatiran separatisme itu, orang Papua semacam perburuan.
“Jadi, saya ingin hal-hal yang sifatnya transendental itu membawa ke dalam bumi Papua bahwa Pancasila itu dihayati di dalam bumi rakyat Papua,dari sisi bagaimana membangun masyarakat Papua. Misalnya dalam sila Pancasila seperti Persatuan Indonesia, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, ini kan Pancasila dan itu sebagai guid sebagai patokan hidup kita bersama . Nah, penerapannya dalam hal ini di Papua pada sila Kemanusiaan, Adil Beradab itu saya tidak merasakan itu,”bebernya lagi.
Mengapa saya bilang bahwa seluruh jabatan-jabatan politik itu sesuai dengan tujuan undang-undang otonomi khusus yang memang mengamanatkan di sektor-sektor politik, sektor-sektor ekonomi.
“Saya minta wakil bupati, bupati,gubernur,wakil gubernur, wali kota,wakil wali kota, DPR dan DPD RI itu harus orang asli papua (OAP). Dasar adanya Otonomi Khusus karena ada keinginan rakyat Papua untuk melepaskan diri pas Timor Timur sudah lepas, maka Papua juga Ingin menyusul. Jadi itu dasarnya,” tegasnya.
Ia mencontohkan, orang berteriak terus tapi kalau misalnya diberikan peluang orang harus menjadi Bupati,Gubernur,Wali Kota itu harus punya ijazah dan orang itu harus terdidik. Dia harus berpendidikan karena itu pendidikan ini penting bagi orang Papua. Sebab, itu akses-akses untuk mencapai bagaimana kesejahteraan,pemberatasan buta huruf dan pendidikan bagi orang Papua. Itu hal yang sangat fundamental.
Lalu tentang kesehatan. Bahwasanya, seseorang dia menjadi bupati, gubernur tapi sakit-sakitan bahkan sedikit lagi mau mati, sehingga kesehatan juga adalah hal yang kebutuhan yang paling fundamental mendasar yang selama ini saya lihat.
Menurutnya, masalah keamanan di Papua itu tidak pernah secara maksimal dihadirkan di kalangan penduduk di Papua, apalagi dengan adanya teman-teman kita yang mungkin sampai hari ini masih bertahan di hutan, yang disebut dengan KKB atau separatis atau apa dan sebagainya.
“Stigma-stigma yang sejatinya memang ada ketidakpuasan saudara-saudara kita harus didekati. Karena kita negara hukum, negara demokrasi. Orang berbeda pendapat itu dijamin oleh undang-undang, tetapi sebagai sebuah pikiran. Mengeluarkan pikiran itu tidak lalu kita menstigma atau langsung kita menghilangkan,bahkan memburuh dia sebagai musuh.
“Saya pikir itu sudah tidak sesuai dengan konstitusi-konstitusi kita. Karena negara menjamin mengeluarkan pendapat sekalipun itu pendapat yang berbeda, tetapi itu kan bagian dari dialektika.”
Seharusnya hak untuk memilih dan dipilih itu adalah kewajiban.
“Jadi saya menghimbau Kepada seluruh masyarakat Papua. Dalam pelaksanaan pemilu secara nasional ini tingkat partisipasi itu sangat penting . Semua kita memilih calon-calon yang Pemimpin sekiranya itu memiliki visi, misi, konsep untuk membawa masyarakat Papua hidup lebih sejahtera.” imbuhnya. ** Domi Dese.