Jakarta,msinews.com – Isu seputar kegiatan keagamaan kembali menarik perhatian di Jakarta. Kali ini, sorotan tertuju pada Vihara Cetiya Permata Dihati dan interaksinya dengan warga Blok C RW 12, Cengkareng Barat, Provinsi Jakarta.
Komisi A DPRD DKI Jakarta menyatakan secara tegas tak ada pelarangan ibadah di Ibu Kota Jakarta. Justru, upaya difokuskan pada penataan agar hak beribadah dapat berjalan harmonis dengan ketertiban umum.
Menanggapi hal ini, Ketua Komisi A DPRD DKI, Inggard Joshua, Fraksi Partai Gerindra, secara lugas menyatakan bahwa hak beribadah setiap warga negara adalah jaminan undang-undang.
Inggard menekankan, bahwa permasalahan muncul ketika penggunaan rumah tinggal sebagai tempat ibadah menimbulkan gangguan bagi warga sekitar.
“Kami selalu mendukung hak setiap warga untuk beribadah sesuai agama dan keyakinannya. Namun, tentu saja pelaksanaannya harus mematuhi aturan, tidak mengganggu ketertiban umum,” tegas Inggard, dikutip dari keterangannya di Jakarta, pada Rabu 2 Juli 2025.
Mediasi yang difasilitasi Komisi A DPRD Jakarta berupaya mencari solusi win-win, jemaat dapat menjalankan ibadah dengan khusyuk, dan warga sekitar tetap merasa nyaman. Kunci utamanya adalah menciptakan harmoni dalam kehidupan beragama.
Terpisah dari itu, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik atau Kesbangpol DKI Jakarta, Muhammad Matsani, menyoroti pentingnya koordinasi.
“Pengurus Vihara sebaiknya berkoordinasi dengan RT, RW, lurah, camat, hingga kepolisian sebelum menggelar kegiatan keagamaan,” ujarnya.
Matsani menjelaskan, langkah ini bukan birokrasi yang rumit, melainkan upaya preventif agar kegiatan berjalan lancar dan tidak memicu gesekan.
Selain itu, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB Jakarta Barat, Ujang Badri, memberikan penekanan pada komunikasi yang baik.
“Tepenting adalah adanya niat kuat dari pengurus untuk membangun kebersamaan, kekompakan, dan kerukunan dengan warga,” kata Ujang.
Ia menyarankan saling sapa, sosialisasi, dan dialog terbuka sebagai cara efektif membangun hubungan baik.
Intinya, Jakarta ingin menunjukkan bahwa hak beribadah dan ketertiban umum bukan dua hal yang saling bertentangan. Keduanya dapat berjalan selaras, dengan komunikasi, koordinasi, dan semangat toleransi sebagai fondasinya.*