Oleh: Agustinus Tetiro (jurnalis dan pendidik)
ADA banyak hal menarik yang bisa kita refleksikan pada momentum ulang tahun pertama tahbisan uskup agung Ende Mgr Paulus Budi Kleden SVD. Saya memilih untuk memberi perhatian pada beberapa hal teknis mengenai kotbah-kotbah Bapa Uskup Budi yang disiarkan melalui live dan konten Youtube Komunikasi Sosial Keuskupan Agung Ende (Komsos KAE).
Dari situ, saya akan sisipkan beberapa saran yang sekiranya bisa menjadi pertimbangan untuk menambah kreativitas dalam pewartaan yang akan lebih menjangkau banyak orang. Ini terasa penting sebagai salah satu cara memelihara api harapan.
Kotbah Uskup di Youtube
Komsos KAE hampir selalu menyiarkan secara langsung perayaan ekaristi (misa) yang dipimpin Bapa Uskup Budi pada hari-hari penting atau kesempatan-kesempatan yang tampan. Terobosan ini amat bagus, karena selain mengikuti perkembangan zaman agar semakin banyak orang dari jarak jauh bisa mengikuti perayaan-perayaan penting seperti tahbisan imam dan lain-lain, hal ini mempercanggih sistem pendokumentasian momen-momen penting dalam bentuk audio-visual.

Apalagi kalau Komsos KAE mengedit dan memproduksi kembali kotbah-kotbah Bapa Uskup Budi sebagai konten tersendiri. Penonton atau viewers biasanya makin banyak. Ini penting untuk keperluan pewartaan. Lanjutkan!
Untuk keperluan utama bagi pewartaan ini, maka saya mengusulan beberapa hal. Pertama, potongan-potongan kunci pada kotbah bisa diseleksi untuk dijadikan konten lebih singkat yang bisa ditampilkan pada reels, shorts, TikTok dan sejumlah layanan lain semacam saripati dari kotbah Bapa Uskup. Jenis postingan ini bisa untuk menyapa para netizen lebih belia yang saat ini lebih menggandrungi tiktok, reels dan shorts dibandingkan membuka Youtube.
Kedua, kotbah-kotbah yang inspiratif itu sebaiknya ditulis ulang dalam bentuk transkrip oleh salah satu anggota tim Komsos KAE. Setelah melewati proses editing, kotbah ditampilkan kembali menjadi salah satu konten tulisan pada website milik KAE seperti keuskupan agungende.org atau mediakae.net yang selama ini telah mengirimkan sejumlah pemberitaan dan informasi ke beberapa WhatsApp Groups (WAGs).
Ketiga, kumpulan kotbah baik dalam bentuk konten Youtube atau tampil sebagai tulisan bisa menjadi modal dan sumber yang baik bagi para mahasiswa, juga untuk para pastor, biarawan-biarawati dan umat pada umumnya yang mungkin ingin membaca (kembali) kotbah-kotbah sang gembala. Saya ingat, Mgr Budi pernah mengatakan di Bajawa beberapa waktu lalu, “Keuskupan Agung Ende hendaknya berbau buku”
Itu artinya, KAE mesti kuat dalam literasi dan kegiatan baca-tulis. Dari Bapa Uskup saja, karya penerbitan Komsos KAE bisa menghasilkan sejumlah tulisan dari kotbah-kotbah, surat-surat gembala hingga permintaan penulisan prolog, epilog dan sambutan Bapa Uskup untuk sejumlah buku karya para imam ataupun awam dan sahabat kenalan.
Saya membayangkan begini. Beberapa mahasiswa calon guru agama di sekolah tinggi ilmu pastoral (STIPAR) Ende menulis skripsi tentang kotbah-kotbah Bapa Uskup Budi dan relevansinya untuk pendidikan agama Katolik. Atau, mahasiswa-mahasiswa IFTK Ledalero berani mengangkat dalam (pra)skripsinya perbandingan (atau perkembangan?) pemikiran Bapa Uskup Budi dari masa-masa masih sebagai dosen teologi melalui karya-karya buku dan publikasi ilmiahnya di sejumlah jurnal dengan pengajaran-pengajarannya saat menjadi uskup agung Ende. Atau, apa dan bagaimanalah yang sejenisnya.
Dari Roma ke Ndona
Ada cerita menarik yang dikisahkan Bapa Uskup Budi kepada host podcast Komsos KAE Master Oyen Feto. Dalam perjalanan pulang dari Maronggela ke Ende, ada umat di pinggir jalan yang berteriak saat melihat Bapa Uskup, “Ada Bapa Paus….”
Menurut Bapa Uskup Budi, itu baik, artinya Bapa Paus memang lebih terkenal daripada uskup Ende. Itu juga baik supaya uskup agung Ende harus semakin rajin berkunjung ke kampung-kampung agar kian dikenal.
Saat terpilih menjadi uskup agung Ende setahun lalu, Bapa Uskup Budi masih di Roma dan menjabat sebagai superior general SVD, dan sedang mengikuti kapitel. Sejumlah foto Bapa Uskup Budi dan mendiang Paus Fransiskus tersebar luas.
Dalam kotbah-kotbah satu tahun terakhir ini, terlihat amat jelas bahwa Bapa Uskup Budi selalu mengikuti semangat dari Roma terutama pada Tahun Yubileum ini di bawah tema Peziarah Pengharapan (Peregrinantes in Spem/Pilgrims of Hope). Harapan itu dibahasakan dengan cara yang ringan serentak menyentuh hati dan mudah dipahami dalam sejumlah kotbah dan pernyataannya.
Pertama, berbeda dengan ajaran-ajarannya saat masih menjadi dosen teologi di Ledalero, kotbah-kotbah Bapa Uskup Budi lebih sebagai pengajaran dari seorang gembala. Gembala umat harus memastikan pengajarannya bisa langsung dipahami dan menjadi bekal untuk melanjutkan hidup. Bapa Uskup Budi seringkali membuat poin-poin pesan tentang harapan yang sekiranya bisa langsung dipahami umat biasa.

Dulu saat masih mengajar di Ledalero, beliau bisa saja menguraikan tema harapan dengan cara-cara yang lebih argumentatif sambil berkonsultasi dengan kitab suci, magisterium gereja, sejumlah nama teolog modern (Moltman, Rahner, Metz, dan lain-lain) atau bahkan filsuf seperti Agustinus, Ernst Bloch dan Erich Fromm.
Sekali lagi, ini bisa jadi bahan menarik bagi para mahasiswa filsafat agama atau teologi kontekstual di Ledalero untuk digarap sebagai skripsi atau tesis. Saya membayangkan, adalah suatu petualangan intelektual yang menantang dan menyenangkan untuk melihat pembabakan pengajaran seorang intelektual seperti ini.
Kedua, dalam hubungan dengan harapan, kalau kita perhatikan, pada sapaan awal dalam kotbah-kotbah, Bapa Uskup Budi selalu menyapa anak-anak dan kaum remaja berada pada tempat pertama, lalu kemudian disusul dengan ibu-bapa dan saudara-saudari.
Menurut saya, itu salah satu cara Bapa Uskup Budi untuk memberi tempat kepada anak-anak dan kaum remaja yang mungkin selama ini kurang disapa atau kurang dihargai keberadaannya oleh masyarakat. Bagaimanapun, berbicara tentang harapan berarti berbicara tentang masa depan. Masa depan berarti milik kaum remaja dan anak-anak saat ini.

Pilihan seperti ini tentu saja tidak perlu dibenturkan dengan orang-orang tua atau generasi sebelumnya. Pada banyak kesempatan, Bapa Uskup Budi berbicara tentang kemauan untuk saling belajar: anak muda belajar dari pengalaman dan catatan-catatan orang tua. Sementara itu, orang tua belajar tentang semangat dari kaum muda dan anak-anak.
Ketiga, selain anak-anak dan remaja, ada kelompok-kelompok kecil yang selalu disapa Bapa Uskup Budi dalam pertemuan-pertemuan, yaitu mereka yang miskin dan mereka yang sedang berada di dalam penjara. Itulah pilihan sikap keberpihakan.
Rasa-rasanya masih ada banyak pribadi dan kelompok yang perlu disapa dengan model dan cara pewartaan yang kreatif dan ramah dengan keseharian mereka. Ada yang merindukan pertemuan langsung. Ada yang mungkin masih ingin membaca buku dan majalah. Ada yang mau berselancar di media digital dan menemukan sejumlah motivasi di sana.
Di tengah kesepian dan apatisme dunia, masing-masing kita terpanggil untuk memelihara Kasih Persaudaraan bersama Bapa Uskup Budi Kleden.**