Msinews.com – Penyaluran Dana Desa Cipeundeuy, Kecamatan Bojong, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, menjadi tanda tanya publik.
Berdasarkan data anggaran Dana Desa Cipeundeuy yang diperoleh, mencapai Rp1.147.519.600 dari pagu Rp1.415.866.000 tercatat telah tersalur dalam dua tahap.
Namun, sejumlah rincian anggaran dana Desa peruntukannya diduga tidak singkron dengan kondisi yang terjadi di lapangan.
Desa berstatus mandiri itu menerima dana tiga termin, tapi ada dua tahap yang terealisasi, Tahap pertama Rp849.519.600 (74,03%), tahap kedua Rp298.000.000 (25,97%), sementara tahap ketiga tercatat 0%.
Ketika ditelusuri, beberapa anggaran dana desa yang disalurkan oleh Pemerintah Desa, memicu pertanyaan serius mengenai akurasi dan kesesuaiannya, termasuk di antaranya.
Pemeliharaan sarana pariwisata milik desa senilai Rp45 juta, padahal Desa Cipeundeuy tidak tercatat memiliki destinasi wisata desa.
Satu-satunya lokasi wisata di wilayah ini adalah Taman Batu yang dikelola pihak swasta, asal madura, bukan aset desa.
Pengembangan Sistem Informasi Desa bernilai Rp100 juta, belum ditemukan sistem atau aplikasi yang dapat diverifikasi publik.
Penyelenggaraan PAUD/TK/TPA/TKA/TPQ/Madrasah Non Formal Milik Desa (Bantuan Honor Pengajar) desa sebesar Rp42 juta.
Sementara berdasarkan warga menyebut lembaga pendidikan yang ada justru milik swasta dan bukan inisiatif desa.
Keadaan Mendesak dengan alokasi Rp90 juta, namun hingga kini belum ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud sebagai kondisi darurat yang layak dibiayai dana desa.
Sejumlah, operasional pemerintah desa juga muncul tiga kali dengan nilai berbeda, Rp13 juta, Rp2,896 juta, dan Rp4,5 juta, menciptakan inkonsistensi yang belum diuraikan secara jelas.
Ketika dikonfirmasi, Kepala Desa Cipeundeuy, Dede Krismayadi, memberikan jawaban singkat. Ia menyatakan enggan menyebutkan detail karena khawatir keliru.
“Yang pegang data administrasi itu kan di sekdes. Kalau saya menyampaikan berdasarkan ingatan, takutnya salah,” ujar Dede di Purwakartaio, Selasa (18/11/2025).
Pernyataan ini justru menambah kekosongan informasi mengenai penggunaan dana desa ratusan juta rupiah tersebut.
Transparansi yang semestinya menjadi standar dasar pengelolaan dana desa bergeser menjadi data yang menggantung.
Seiring publik makin menuntut akuntabilitas, ketidakjelasan penggunaan dana dalam kategori keadaan mendesak, klaim sarana wisata yang tidak ada.
Selain itu, pengembangan sistem informasi desa tanpa jejak aplikasi membuat pengawasan semakin mendesak dilakukan.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Pemerintah Desa atau Pemdes belum memberikan keterangan terkait penyaluran anggaran.* Eky

