Oleh Syamsul Noor Fajri
SIMPUL filsafat eksistensialisme Sartre tak sampai melambung ke dalam ruang hampa udara, berkat sentuhan epistemologi Filsafat Religius Experience Rudolf Otto. Dalam kontemplasi filsafatnya, Otto berusaha menjawab relung-relung temaram dari al-khauf, al-khudi, ar-roja’, dan wahdah al-wujud, serta manunggaling kawula gusti dari filsuf muslim.
Rudolf Otto kendati bertolak dari teologi Protestan tetapi tesisnya samasekali tidak bertolak belakang dengan pandangan filsuf muslim. Bahkan, dalam banyak hal Otto berhasil membangun suatu akselerasi koheren dengan banyak filsuf muslim.
Eksistensi iman yang tidak mendapatkan ruang interpretasi secara memadai dari Sartre, justeru menjadi bahasan menantang bagi Rudolf Otto. Iman memuat konsekuensi bipolar, dikotomis, ambivalen, dan terkadang juga diametral.
Konsekuensi “balasan pahala” dan “sanksi dosa” dari iman mendatangkan al-khauf (rasa takut mencekam) sekaligus perasaan terkurapi dan menyatu dengan Sang Causa Prima. Dalam terminologi Islam dikenal sebagai wahdah al-wujud dan dalam kajian mistisisme di Jawa disebut manunggaling kawula gusti (makhluk dan Khaliq menyatu). Ya, satu frekuensi dengan pernyataan Yesus Kristus dalam Injil Perjanjian Baru, “Barangsiapa melihat aku sama saja dengan melihat Bapak (Eufesus).
Keadaan penyatuan antara makhluk dan al-khalik dalam teologi samawi tidak terjadi secara merta. Rudolf Otto mengenalkan suatu proses intens, yang ia sebut mysterium tremendum et fascinosum.
Berbeda dengan “balasan pahala” yang menyenangkan, mysterium dari “sanksi dosa” sungguh terasa sangat menakutkan. Dunia medis menempatkan “perasaan berdosa” sebagai etiologi dari sakit. Dosa dipandang sebagai sebab (penyakit) dan keadaan sakit sebagai akibat. Hubungan sebab-akibat berikut penatalaksanaannya menjadi analisis dalam ilmu kesehatan mental.
Urusan dosa dalam kaitannya dengan penyakit dan sakit, memang berada di luar wewenang rumah sakit dan paramedis saja. Sekadar berkelakar, orang sehat secara tiba-tiba bisa mendadak jadi sakit bila melihat peristiwa pqrs dan abcd di rumah sakit. Excuse me… sekadar kelakar seluang.
Sebegitu terjalnya bukit dosa sehingga menjadi angle sentral dalam hidup manusia. Sampai kucing bertanduk pun, kita belum pernah menyaksikan ada harimau mendatangi ulama/pastur dan mengaku dosa. Sampai hari ini pun aku belum pernah dan pasti tak akan pernah melihat buaya membuat status di facebook dan menjadikan wall facebook seakan-akan “dinding ratapan”.
Aku tersenyum membayangkan lampu merah di perempatan jalan sesak dipenuhi bapak bebek dan ibu bebek, yang bergegas mau segera tiba di tempat kerja. Bebek-bebek itu takut terlambat dan mendapat sanksi potong gaji sebulan. Mau terpingkal-pingkal silakan… tapi jangan ngakak membayang bebek mengendarai motor bebek. It’s impossible…!
Imajinasikan saja sesuatu yang possible dan logis, misalnya seekor singa menerkam rusa di hutan belantara. Tubuh rusa itu dicabik-cabik. Darah berceceran. Singa lain datang dan ikut nimbrung makan daging rusa. Coba perhatikan ekspresi wajah singa, apakah ada penyesalan atau bersalah telah membunuh rusa yang samasekali tidak bersalah. Apa ada terbersit sedikit pun rasa itu?
Tentu saja tidak ada. Bagaimana mungkin singa menyesal? Bukanlah singa itu golongan hewan? Jadi mana ada cerita hewan pakai scene bawa perasaan (baper)? Hewan memang punya otak tapi tidak punya akal.
Nah, para pembaca manggut-manggut setuju. Hewan tidak punya akal. Berbeda sangat kontras dengan manusia. Tuhan mengaruniakan akal kepada manusia. Melalui potensi akal itulah manusia (an-naas) bisa memungkinkan naik peringkat menjadi insan kamil (manusia tercerahkan; terpilih). Insan kamil bisa dibilang berderajat 1-2 level di bawah ruhul kudus (Nabi). Jangan protes, diksi ruhul kudus sama dengan nabi tersebut secara eksplisit dalam Bibel.
Soalan di mana letak mendekati terjawab melalui terminologi qiyas “singa memangsa rusa” barusan. Siapa pun manusianya, sepintar apa pun dia pasti menganggap “singa memangsa rusa” itu memang wajar. Kendati singa memangsa rusa yang tidak bersalah tapi singa tetap saja dianggap tidak berdosa. Hanya makhluk berakal yang mengenal dosa. Tak ada dosa apa pun bagi makhluk tak berakal.
Artinya clear. Letak dosa itu di akal. Hanya manusia berakal yang menolak bahkan menjauhi korupsi. Sebab korupsi itu merugikan orang banyak dan itu merupakan dosa. Kesimpulannya, koruptor itu pasti akalnya tidak dipakai alias tidak berakal. Akalnya tertutup oleh nafsu ingin hidup mewah secara instan.
Manusia tertutup atau terhijab dari kebenaran Tuhan itu dalam terminologi Al-Qur’an disebut kafir. Itulah arti kafir yang sesungguhnya. Kata kafir itu bukan hasil buatan manusia, melainkan qiyas Tuhan untuk menyebut manusia yang Tuhan tutupkan pandangan hatinya dari kebenaran. Kata itu hampir mendekati pemaknaan seirama dengan “domba yang hilang/sesat di antara Bani Israil” dalam Taurat, Zabur, dan Injil. **
