Hermeneutika Minanga dalam  Tinjauan Semiotika

oleh
banner 468x60

Oleh:  Syamsul Noor

KEPALA Biro SumselBabel MSINews Pak Unu Suyanto meminta penulis menyusun ulasan singkat tentang diksi Minanga.

banner 336x280

Dalam konteks permintaan tersebut, penulis menyadari permintaan itu sangat beralasan, baik secara “Rasionalitas Nilai” maupun “Rasionalitas Tujuan”.

Berhadapan dengan beliau (Pak Unu Suyanto; Red), penulis cenderung “mati kutu” bila berapologi. Alasannya, beliau terlampau banyak mengetahui “rekam jejak” penulis, baik selaku jurnalis (wartawan) maupun pekerja sastra.

Diksi Minanga dalam kaitan permintaan Pak Unu agar diulas secara singkat, penulis akan melakukan pendekatan dengan tinjauan secara Semiotika (ilmu mempelajari tentang semion; tanda atau penandaan; Red).

Pendekatan Semiotika memungkinkan seorang analis dapat melakukan pembedahan suatu semion (tanda komunikasi/ekspresi budaya) secara lebih mendekati integral (ijmal; menyeluruh) dan proporsional (tepat waktu dan tepat tempat).

Diksi Minanga Tamvan dalam teks Prasasti Kedukan Bukit, secara Semiotika tidak memenuhi syarat hermeneutik (ruang/wilayah penafsiran) untuk dimaknai sebagai suatu tempat bernama Minanga atau disebut Minanga. Kenapa tidak memenuhi syarat?

Karena, teks prasasti bertanggal 16 Juni 682 Masehi itu, tak hanya berisi semion (penandaan) menunjuk locus (tempat; s) saja melainkan juga secara eksplisit menyatakan semion tentang waktu (time; t).

Terdapat dua locus yang disebut dalam teks, yaitu (1) Minanga Tamvan (tempat keberangkatan) dan (2) Mukha Upang (tempat tujuan). Teks secara tegas dan jelas menyatakan, “pada tahun 604 Saka hari ke-11 paruh terang bulan Waisaka, Raja Dapunta Hyan Srijayanasa bersama sekitar 20 ribu balatentaranya marlapas (berlayar) dari Minanga Tamvan.

Pelayaran tersebut tiba di tempat tujuan (Mukha Upang) secara sukhacitta di pancami suklapaksa vulan Asadha laghu mudita datam marvuat vanua (sukacita pada hari ke-5 paruh terang bulan Asada lega gembira datang membuat wanua).

Berdasarkan angka tanggal dan bulan kalender Saka terpahat dalam teks prasasti, dapat dilakukan perhitungan waktu (durasi) pelayaran dilakukan, yaitu dibulatkan lebih kurang satu bulan.

Apakah dapat dianggap rasional apabila waktu tempuh dari Dusun Minanga (Ogan Komering Ulu Timur) ke Mukha Upang disebut satu bulan. Semua orang yang tahu letak Dusun Minanga dan kawasan pesisir Mukha Upang tentu akan berkomentar, “Jarak dua tempat itu relatif dekat, yang benar saja bila disebut waktu tempuhnya satu bulan. Anggap pada masa lalu menggunakan sampan melalui Sungai Musi lalu Sungai Komering, menunggu air surut, hitungan waktu sebulan itu terlampau berlebihan. Air surut pada menjelang malam, pada pagi hari dijamin sudah tiba di Minanga. Begitu pula sebaliknya, menggunakan sampan dalam keadaan normal dari Minanga satu hari sudah sampai di Mukha Upang.

Lagian teks prasasti itu secara eksplisit (tersurat) memberitakan pelayaran itu bukanlah pergi untuk berperang, melainkan pulang secara suka cita setelah memenangkan peperangan.

Itulah alasan penulis menunjuk diksi Minanga Tamvan sebagai Dusun Minanga (sekarang masuk Kabupaten OKU Timur), secara rasional tidak memenuhi prasyarat Semiotika dan Hermeneutika.

Jadi tegasnya Minanga Tamvan dalam teks Prasasti Kedukan Bukit tidak tepat dimaksudkan sebagai dusun tua di Komering, yang dinamakan Minanga.

Lokasi dimaksud secara Semiotika mestilah relatif cukup jauh, butuh berlayar dalam tempo lebih kurang satu bulan.

Tentang relokasi paling relevan adalah di suatu kawasan yang termasuk wilayah kedaulatan dari Perdatuan Sahilan. Kerajaan dimaksud berada tidak seberapa jauh tamwan (pertemuan arus sungai; muara) dari Sungai Kampar Ulu dan Sungai Kampar Ilir, sekarang termasuk Provinsi Riau.

Sedangkan dusun tua bernama Minanga di Komering Ulu merupakan mandala terpenting dari Kedatuan Sriwijaya. Bahkan sebegitu pentingnya Minanga sampai di kawasan itu, di tepi Sungai Komering Ulu ditemukan Arca Perunggu Bodhisatva Maitreya yang ditaksir para arkeolog berasal dari abad IX atau abad X Masehi.

Nilai penting Komering sebagai salah satu suku bangsa Melayu bagi diskursus Sriwijaya juga terimplementasi pada aspek linguistik. Bahasa suku Komering boleh dibilang merupakan satu-satunya ragam fonemik dan fonetik yang paling dekat dengan Bahasa Melayu Kuno.

Penulis tak sekadar berliterasi kosong, melainkan telah menjadikan topik Sriwijaya sebagai salah satu ladang potensial guna menanam sekaligus mengembangkan kreativitas dalam berimajinasi sastra.

Bersetting kesejarahan Sriwijaya, penulis telah melahirkan tiga novel. Satu novel disusun pada sekitar 1991, berjudul Pendekar Sastrawan Santun (30 bab tamat). Novel ini rencananya bakal dimuat bersambung di H.U. Sriwijaya Post. Penulis membatalkan pemuatan karena tidak setuju pada tawaran harga per sekali pemuatan untuk kontrak per satu bulan (dimuat bersambung setiap hari selama 30 hari).

Selanjutnya dua novel disusun pada 2025, berjudul Pendekar Langit (21 Bab tamat) dan Dinasti Seribu Raja (15 bab – bersambung). Secara khusus kisah menyoal Minanga Tamvan, penulis ceritakan dua bab dalam novel Dinasti Seribu Raja.

Dua novel terakhir (Pendekar Langit dan Dinasti Seribu Raja), saat penulis menyusun artikel ini, sedang tayang secara online melalui aplikasi MaxNovel:

(1) Pendekar Langit
https://update.max-culture.com/update/share/book.html?v=202410241100&bId=6775b14b7786c426a8452e51&f=Link_share

(2) Dinasti Seribu Raja
https://update.max-culture.com/update/share/book.html?v=202410241100&bId=67ea201ab13d802f41f2239a&f=Link_share

Berdasarkan data dari fragmen prasasti No. D.161 yang ditemukan di Situs Telaga Batu, J.G. de Casparis (1956: 11–15) dan Boechari (1993: A1-1–4) mengisinya dengan nama bulan Asada. Maka lengkaplah pertanggalan prasasti tersebut, yaitu hari kelima paro-terang bulan Āsāda yang bertepatan dengan tanggal 16 Juni 682 Masehi. [Casparis, J.G. de, (1956), Prasasti Indonesia II: Selected Inscriptions from the 7th to the 9th Century A.D., Dinas Purbakala Republik Indonesia, Bandung: Masa Baru.]

Berikut ini isi lengkap teks Prasasti Kedukan Bukit (16 Juni 682 Masehi):
“svasti śrī śakavaŕşātīta 604 ekādaśī śu-
_klapakşa vulan vaiśākha ḍapunta hiyaṁ nāyik d sāmvau maṅalap siddhayātra di saptamī śuklapakşa vulan jyeşţha ḍapunta hiyaṁ maŕlapas dari Miṉāṅkā
tāmvan mamāva yaṁ vala dua lakşa daṅan ko śa(?)

duaratus cāra di sāmvau daṅan jālan sarivu
tlurātus sapulu dua vañakña dātaṁ di mata jap (mukha upaṃ ?)
sukhacitta di pañcamī śuklapakşa vula[n]… (āsāḍha ?)
laghu mudita dātaṁ marvuat vanua …
śrīvijaya siddhayātra subhikşa … (nityakala ?).”

Terjemahan:
Selamat ! Tahun aka telah lewat 605, pada hari ke sebelas
paro-terang bulan Waiakha Dapunta Hiyang naik di
sampan mengambil siddhaytra. pada hari ke tujuh paro-terang
bulan Jyestha Dapunta Hiyang berlepas dari Minanga
tamwan membawa bala tentara dua laksa dengan perbekalan
dua ratus cara (peti) di sampan dengan berjalan seribu
tiga ratus dua belas banyaknya datang di mata jap (Mukha Upang)
sukacita pada hari ke lima paro-terang bulan….(Asada)
lega gembira datang membuat wanua….
Sriwijaya jaya siddhaytra sempurna.”

*)Penulis adalah: penyair, jurnalis, novelis, dan peminat palaentologi.*

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *