Di UNSRI Puluhan Pakar dan Dosen Filsafat Hukum Berkumpul Bahas Ancaman Kematian Demokrasi

oleh
banner 468x60

Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi jangan dianggap sebagai suatu wacana pemberontakan.”
(Prof. Dr. Febrian, SH).

Palembang, msinews.com – Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), pada 24 dan 25 Juni 2024 menyelenggarakan konferensi ke-9 di kampus Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (FH Unsri).

banner 336x280

Konferensi ke-9 di Unsri, Bukit Besar mengaktualisasikan tema Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi dengan Keynote Speaker pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, S.H., LL.M., Ph.D dari Sekolah Tinggi (STH) Hukum Indonesia Jentera.

Ketua Panitia Pelaksana Muhamad Erwin mengemukakan pada konferensi kali ini merupakan kali ke-9 sejak AFHI terbentuk pada 2011.

“Kali ini Fakultas Hukum Unsri sebagai tuan rumah,” ungkap Erwin.

Konferensi AFHI ke-9 dibuka Rektor Unsri Prof. Dr. Taufiq Marwa, SE, M.Si., jelas Erwin, dihadiri 80 peserta, yakni sejumlah 54 orang sebagai pemakalah dan 20 orang sebagai audiens.

Penyenggaraan konferensi sempat tertunda tiga tahun, akan menghadirkan 10 (sepuluh) panelis dengan 10 (sepuluh) tema serta peluncuran lima judul buku filsafat hukum terkini.

Dua Kata Kontradiktif

Dekan Fakultas Hukum Unsri Prof. Dr. Febrian, SH., MS,  dalam sambutan menyampaikan selamat datang kepada peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Menurut Febrian, tema konferensi “Hukum dan Ancaman Kematian Demokrasi” jangan dianggap sebagai suatu wacana pemberontak.

“Dalam diskursus filsafat memang philosopher itu mulai dengan kata kebingungan. Bingung inilah lalu kita bertanya kepada sesama teman, berdiskusi sesama teman. Insya Allah ada solusinya,” ujar Febrian yang juga guru besar FH Unsri.

Sementara itu Ketua AFHI Hyronimus Rhiti, SH LLM dalam sambutannya menyampaikan bahwa tema konferensi kali ini adalah hukum dan ancaman kematian demokrasi.

Ketua AFHI mengungkapkan situasi demokrasi saat ini dinilai sudah sangat dikorbankan oleh para penguasa.

Karena itu sebagai lembaga asosiasi akademisi berkomitmen melakukan upaya pendidikan hukum dalam menjaga dan mengawal demokrasi.
Kami menilai adanya situasi berdasarkan fakta yang bertentangan (dengan hukum) pada 2024, terutama pada politik pencalonan presiden nan kemudian legislatif. Sehingga kami menilai ada gejala demokrasi saat ini sedang dikorbankan,” ujarnya saat sesi konfrensi pers usai acara pembukaan.

Dalam kegiatan yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Hieronymus menjelaskan jika lembaga asosiasi sudah sejak 2011 dibentuk yang bertujuan ingin mengembangkan filsafat hukum di Indonesia. Mengingat filsafat hukum di Indonesia masih banyak dipengaruhi hukum barat.

Asosiasi secara umum berharap agar filsafat hukum terus berkembang, bagaimana gejala-gejala dan perkembangan hukum yang terjadi menjadi bagian dari proses akademik (belajar mengajar).

Maka kemudian pembahasan berkembang, tidak hanya filsafat hukum namun kemudian menjadi topik yang lebih luas dan relevan. Apa yang menjadi keresahan masyarakat akan mampu dijawab dalam aspek akademik,” ucapnya.

“Dua kata yang kontradiktif, satu kata hukum yang hidup dan satu lagi frasa kematian demokrasi. Yang terakhir ini agak mencemaskan, yaitu kata kematian. Dan yang paling cemas adalah orang yang hidup dan mereka yang sedang sakit-sakitan. Yang mati, biasanya tidak lagi cemas. Kita tinggal memilih apakah kita terus hidup, apakah supaya menghilangkan kecemasan kita pilih yang terakhir. Saya kira kita tidak akan pilih yang terakhir, kita akan pilih hidup atau kehidupan”, ujar Rhiti.

Menurut pakar filsafat hukum penulis buku Filafat Hukum Edisi Lengkap: Dari Klasik Sampai Postmodernisme, AFHI menyadari bahwa hukum dan demokrasi, khususnya di Indonesia saat ini masih eksis.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti, S.H., LL.M., Ph.D dari Sekolah Tinggi (STH) Hukum Indonesia Jentera. Foto: Dok

“Hukum dan demokrasi masih ada tetapi terancam bahaya kematian. Khususnya demokrasi sesuai dengan teman konferensi sangat terancam kematian baik dalam arti medis, yuridis, politis, ideologis, maupun sekadar metafora”, katanya.

Ketua AFHI Hyronimus Rhiti mengharapkan dari konferensi ke-9 di kampus Universitas Sriwijaya para peserta mencoba untuk mencermati atau menguliti sampai ke hak-hak paling krusial tentang fenomena ancaman kematian demokrasi.

“Paling mencemaskan adalah kalau ancaman tadi berubah menjadi kenyataan, yaitu mati benaran, benar-benar mati, bukan sekadar ancaman lagi. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana dengan hukum yang masih hidup, apakah tidak terancam bahaya kematian juga? Jangan-jangan, atau jangan sampai hukum ikut-ikutan mati juga dalam arti seluas-luasnnya. Kalau demokrasi mati, saya kira ancaman kematian berubah menjadi ancaman bagi kematian hukum,” kata Rhiti.

Menurut Rhiti, hukum dan demokrasi tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling menunjang dan demokrasi tanpa hukum itu mustahil. Maka ketika demokrasi itu benar-benar mati, tinggal bagaimana hukum, untuk apa hukum hidup apa bila demokrasi sungguh-sungguh mati,” Hyronimus Rhiti pada akhir masa jabatannya sebagai Ketua AFHI. (SN)

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *