Partisipasi Politik dalam Pilkada Sumsel 2024: Merefleksikan Analisis Huntington dan Newman

oleh
banner 468x60

Oleh : Syamsul Noor

PEMIKIR sosiologi politik Amerika Serikat Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson banyak dikutip dalam literatur politik. Buku mereka tentang politik paling best seller, berjudul “No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries”. Dalam buku tersebut penulis memaknai partisipasi politik sebagai aktivitas masyarakat sebagai pribadi-pribadi dimaksudkan untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah.

banner 336x280

Partisipasi politik, menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson dapat dilakukan secara: (1) Individu atau Kolektif; (2) Terorganisir atau Spontanitas; (3) Statis atau Sporadis; (4) Secara damai atau Secara Kekerasan; (5) Legal atau Ilegal; dan (6) Efektif atau Inefektif.

Pemilih Konsumen

Banyak pendapat dan teori mengulas partisipasi dan perilaku masyarakat dalam politik. Sebut saja satu sampel paling terkemuka, misalnya teori Bruce I. Newman. Dia termasuk suhu dalam Pemasaran Politik atau Marketing Politics.

Newman mengimplementasikan pendekatan pemasaran untuk menjelaskan “how” pemilih berpartisipasi dalam politik, dengan fokus pada “how” kampanye politik dan kandidat mempengaruhi keputusan masyarakat/pemilih.

Sebagai profesor di bidang pemasaran politik di DePaul University, Chicago, USA, Newman mempublikasikan banyak karya tulis ilmiah tentang Pemasaran Politik. Dalam buku “The Marketing of the President”, dia menguraikan tentang kampanye politik di Amerika Serikat telah berkembang waktu ke waktu hingga semakin memfokus pada taktik pemasaran dipersonalisasi untuk menarik pemilih.

Newman mengulas kampanye politik menggunakan prinsip-prinsip pemasaran sebagaimana biasa dilakukan dalam dunia bisnis untuk mempengaruhi keputusan pembeli/masyarakat.

Newman menuliskan, “Partisipan dalam politik tak ubahnya dengan konsumen dalam konteks ekonomi. Mereka disodori pesan, citra, dan strategi dari kampanye sehingga mendorong preferensi dan perilaku mereka. Dengan demikian, perilaku partisipan tidak hanya diwarnai oleh ideologi politik atau orientasi partai, melainkan juga oleh teknik pemasaran dari para kontestan atau partai politik.”

Menurut Newman, partisipan politik berposisi sebagai konsumen politik, sementara kontestan, partai politik atau calon dalam pemilihan kepala daerah sebagai produk atau brand kompetitor untuk menarik perhatian dan dukungan massa.

Tak jarang dalam suatu kontestasi politik para penyelenggara selalu memasang target tinggi untuk partisipasi politik rakyat, baik dalam pemilihan umum legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) Sumatra Selatan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada 27 November 2024, juga memproyeksikan target partisipasi masyarakat relatif tinggi, yaitu di atas 80 persen. Dalam memulai proses pemilihan kepala daerah Sumsel pada awal Mei lalu, Ketua KPU Sumsel Andika Pranata Jaya memasang target partisipasi pemilih dapat melebihi partisipasi pemilih dalam Pileg dan Pilpres 2024, yakni mencapai 84,82 persen.

Apakah partisipasi politik pemilih pada setiap kontestasi politik memang harus tinggi? Parsipasi politik di negara, misalkan di Amerika Serikat pada Pilpres jauh di bawah partisipasi politik di Indonesia. Diskursus dalam tulisan ini tidak akan menyoroti persoalan tersebut.

Pendapat partisipasi politik merupakan unsur urgen dalam proses demokrasi, penulis sepakat dengan pendapat itu. Momentum Pilkada merupakan salah satu ekspresi utama dari partisipasi politik di negara demokratis. Rakyat berdaulat menggunakan hak suara melalui partisipasi politik dalam Pilkada.

Pakar politik Miriam Budiardjo dalam buku Partisipasi dan Partai Politik (1982) mengartikulasikan, partisipasi politik secara umum sebagai kegiatan seseorang atau sekelompok orang ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih kepala daerah, pimpinan negara, dan legislatif secara langsung atau tidak langsung, serta mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy).

Samuel P. Huntington

Dalam konteks pilkada, kampanye berperan sebagai saluran komunikasi untuk mempromosikan pasangan calon (Paslon) kepala daerah dan wakilnya atau platform politik. Paslon ajuan sudah seharusnya memperhatikan preferensi, kebutuhan, dan aspirasi pemilih. Mereka juga harus mensinkronisasikan pesan dan strategi kampanye agar relevan dengan audiens heterogen. Paslon dapat mensosialisasikan Visi, Misi, Orientasi/Program Unggulan mereka melalui media massa, debat politik, iklan televisi, media sosial, hingga interaksi langsung melalui kampanye tatap muka.

Newman juga menyoroti bahwa kampanye politik modern menggunakan data dan analisis pasar untuk memahami pemilih secara lebih mendalam. Mereka memetakan profil demografis, psikografis, dan perilaku pemilih untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok target tertentu, mirip dengan cara perusahaan memetakan pasar konsumen. Berdasarkan informasi ini, kandidat dapat memodifikasi pesan politik mereka agar sesuai dengan segmen-segmen pemilih berbeda, serta menyesuaikan strategi komunikasi yang lebih tepat sasaran.

Newman menggunakan apa yang ia sebut sebagai “Strategic Political Marketing” (SPM), suatu pendekatan yang mengakumulasikan prinsip-prinsip pemasaran, perilaku konsumen, dan komunikasi politik untuk memahami strategi kampanye politik mempengaruhi partisipan/pemilih. Model ini dapat menganalisis interaksi antara kampanye, pesan politik, kandidat, dan pemilih, dengan fokus pada keputusan pemilih dapat dipengaruhi oleh teknik pemasaran.

Di dalam kontestasi politik, kampanye politik berperan sebagai saluran komunikasi untuk mempromosikan kandidat atau platform politik. Kandidat harus memperhatikan preferensi, kebutuhan, dan aspirasi pemilih, lalu menyesuaikan pesan dan strategi kampanye mereka agar relevan dengan audiens berbeda. Ini termasuk Penggunaan media massa, debat politik, iklan televisi, media sosial, hingga interaksi langsung melalui kampanye tatap muka.

Dr.Bruce Newman

Newman mengingatkan bahwa kampanye politik modern menggunakan data dan analisis pasar untuk memahami pemilih secara lebih mendalam. Mereka memetakan profil demografis, psikografis, dan perilaku pemilih untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok target tertentu, mirip dengan cara perusahaan memetakan pasar konsumen. Berdasarkan informasi tersebut, kandidat dapat memodifikasi pesan politik mereka agar sesuai dengan segmen-segmen pemilih yang berbeda, serta menyesuaikan strategi komunikasi yang lebih tepat sasaran.

Dalam pemasaran politik menurut Newman adalah faktor yang sangat penting yakni peran media dalam membentuk persepsi pemilih. Di era digital, media massa dan media sosial menjadi alat utama bagi kandidat untuk menyampaikan pesan politik mereka dan mempengaruhi pemilih. Media memainkan peran penting dalam membentuk citra kandidat, menyoroti isu-isu tertentu, serta memfasilitasi debat publik.

“Kampanye politik modern harus memperhatikan media tradisional (seperti televisi, radio, dan surat kabar) dan media digital (seperti media sosial, blog, dan situs web). Kedua saluran ini memiliki audiens yang berbeda, namun sama-sama penting dalam membentuk opini publik dan mempengaruhi partisipasi politik”, tulis Newman.

Marketing politik membantu memperkuat partisipasi pemilih dengan cara mengkomunikasikan pesan politik agar lebih efektif. Pendekatan ini memiliki tantangan dalam konteks demokrasi. Tantangan utama adalah ada risiko manipulasi pemilih melalui pesan-pesan kampanye bersifat emosional dan populis. Jika tidak dikelola dengan baik, pemasaran politik bisa mengarah pada politik pencitraan, yang lebih mengutamakan penampilan daripada substansi kebijakan.

Inisiator Marketing Politics

Bruce I Newman dikenal sebagai pakar dalam pemasaran politik atau marketing politics. Newman lahir di New York, Amerika Serikat. Belajar di Northwestern University dan meraih gelar sarjana dalam bidang komunikasi. Ia melanjutkan studi di University of Illinois hingga mencapai gelar doktor dalam bidang pemasaran. Newman kemudian menjadi dosen di beberapa universitas, salah satunya di DePaul University di Chicago mengajar di Departemen Pemasaran.

Ia terkenal sebagai pelopor dalam bidang pemasaran politik. Dalam Teori Pemasaran Politik satu kontribusi terpenting adalah pengembangan teori pemasaran politik. Menurut dia kampanye politik harus dikemas sebagai teknik menjual produk/gagasan kepada pemilih.

Ia juga memperkenalkan tentang pentingnya branding dalam politik. Menurut dia, citra dan identitas kandidat sangat mempengaruhi persepsi pemilih. Dalam buku-bukunya, Newman menjelaskan bagaimana kandidat dapat membangun kekuatan merj dengan cara sama seperti perusahaan membangun merek produk mereka.

Bruce I Newman menulis banyak buku dan artikel yang menjadi referensi dalam bidang pemasaran politik. Beberapa bukunya yang paling laris antara lain: “The Marketing of Ideas and Social Issues”, “Political Marketing” dan “Branding in Politics”.

Bruce I Newman adalah pioner dalam pemasaran politik. Kontribusinya akan tetap relevan dalam menghadapi tantangan dan peluang dunia politik modern. Kunci utama keberlangsungan sistem demokrasi adalah artisipasi pemilih dalam politik.**

Penulis adalah  Jurnalis MSINews, Pekerja Budaya, dan Ketua Departemen Data pada Crivijaya Studies Center.

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *