Faisal Basri Minta Jokowi Segera Membenahi Hilirisasi Nikel RI

oleh
banner 468x60

Jakarta, Pakar Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri meminta Presiden Jokowi untuk segera membenahi hilirisasi nikel yang berada di RI. Ia mengungkapkan carut-marut hilirisasi nikel pada masa Jokowi. Dia menilai ada hal positif menambah hilirisasi yang datang dari smelter atau fasilitas pemurnian.

Pasalnya rumusnya ada pada output-input dengan kata lain nickel pig iron (NPI), ferronickel, nickel matte, dan input adalah bijih nikel.

banner 336x280

“Jadi, kesimpulannya lebih dari 90 persen dinikmati oleh negara atau perekonomian China. Ada yang bilang saya rasis, enggak ada urusannya, ini China sebagai entitas negara,” kata Faisal dikutip CNNI, Senin 28/8/2023.

Baca Juga : Masyarakat Diminta Beralih ke BBM Oktan Tinggi Demi Tekan Polusi, Ini Kata Legislator 

Masih dilansir halaman CNNI data United States Geological Survey (USGS) soal cadangan nikel di seluruh dunia per 2022. Indonesia dan Australia berada di urutan puncak dengan cadangan 21 juta metrik ton.

Tepat di bawah keduanya, ada Brasil dengan 16 juta metrik ton, Rusia 7,5 juta metrik ton, New Caledonia 7,1 juta metrik ton, dan Filipina 4,8 juta metrik ton. Lalu, Kanada punya 2,2 juta metrik ton, China 2,1 juta metrik ton, serta Amerika Serikat 0,37 juta metrik ton.

Namun, umur cadangan nikel Indonesia paling singkat dibandingkan negara-negara lain. Faisal mengatakan ini disebabkan ganasnya pengerukan nikel di tanah air, di mana produksinya menembus 1,6 juta metrik ton per tahun.

“RI paling gila, cuma 13 tahun kalau seperti yang sekarang. Ini kan smelter nambah terus, jadi bisa lebih cepat (habis). Pak Jokowi enggak peduli sama itu, dapat Rp510 triliun dengan mengeruk semakin dalam kekayaan kita. Enggak dihitung sebagai ongkos, dampak lingkungannya enggak dihitung, enggak benar,” ungkapnya

Faisal membandingkan dengan Australia yang sama-sama punya cadangan 21 juta metrik ton, tetapi produksinya hanya 160 ribu metrik ton per tahun. Dengan begitu, umur cadangan nikel Australia masih bisa bertahan 131 tahun, sehingga manfaatnya masih bisa dicicipi generasi-generasi selanjutnya.

Sementara itu, Filipina yang punya cadangan 4,8 juta metrik ton nikel akan habis dalam 15 tahun mendatang imbas produksi sebesar 330 ribu metrik ton per tahun. Faisal menegaskan nasib nikel Filipina juga dibelenggu China.

“China sekarang, bijih nikelnya hampir semua impor dari Filipina. Nah, yang seperempat jadi segala macam (impor) dari Indonesia. Jadi, smelter di China ada yang tidak memindahkan atau tidak bikin fasilitas baru di Indonesia, mereka mengandalkan pada yang lain-lain,” ungkap Faisal.

Baca Juga : Kemensos Mampu Disabilitas Netra Kenalin Lingkungan 

Ia pun mengkritik larangan ekspor bijih nikel yang diberlakukan Jokowi. Menurutnya, lebih baik keran ekspor tetap dibuka agar mekanisme pasar berjalan.

Dengan larangan ekspor saat ini, pasokan bijih nikel di pasar internasional merosot sehingga harganya melonjak. Di lain sisi, harga di dalam ambruk karena pasokan melimpah.

“Larangan itu bikin kacau, bikin pasar tidak bekerja. Karena yang paling bagus buat dunia usaha adalah sinyal pasar bagaimana, ini tidak terjadi karena harga ditetapkan pemerintah dengan harga patokan mineral (HPM),” ujarnya.

“HPM menurut saya keliru sekali. Jadi, HPM itu ditetapkan berdasarkan harga timah murni 99 persen di pasar London Metal Exchange (LME) yang harganya puluhan ribu dolar AS. Masa patokan bijih nikel (kadar 1,8 persen-2 persen) pakai harga yang 99 persen? Ya itu dibikin-bikin saja,” sambung Faisal.

Ekspor Feronikel Untungkan China
Selain itu, Faisal mengkritisi ekspor feronikel yang dilakukan Indonesia. Berdasarkan data per 2022, ekspor produk turunan nikel ini malah mendukung industrialisasi China.

Faisal mengakui memang hitung-hitungan awalnya hanya berfokus pada ekspor turunan nikel berkode HS 72, tidak memasukkan HS 73 dan HS 75. Akan tetapi, ia menyebut ekspor turunan nikel HS 72 memang paling dominan, di mana hampir separuhnya berbentuk feronikel

“Feronikel itu diproduksi paling banyak, sebagian besar, hampir 100 persen (ekspor) ke China. Jadi, hampir 100 persen (96,7 persen) feronikel yang dihasilkan ‘brek’ dibawa ke China, bukan jadi bahan baku buat diolah lebih lanjut di Indonesia. Sisanya diekspor ke negara lain. Mulainya 2015 kenceng. Hilirisasi ini semua hampir diekspor ke China, tidak memperkokoh struktur industri di Indonesia,” bebernya

Ia kemudian membedah seberapa penting ekspor bahan mentah Indonesia ke China. Ternyata, 81,5 persen impor feronickel Negeri Tirai Bambu pada tahun lalu didatangkan dari Indonesia.

Faisal menyebut China sangat senang karena tidak perlu mempertahankan pabrik feronikel di China yang bertenagakan energi kotor. Negeri Tirai Bambu itu pun ‘berkotor-kotor’ ria di Indonesia, dengan membawa pulang harga bijih nikel murah dan bebas bayar pajak.

“Hilirisasi di Indonesia menopang industrialisasi di China. Indonesia kan ekspor ferronickel, itu keluarga HS 72. Dijual ke China, diproduksi lebih lanjut di China, diekspor ke seluruh dunia. Ekspor Indonesia ke China naik, ekspor China naik lebih kencang lagi. Itu tidak terjadi sebelumnya-sebelumnya dari 2000-an, tapi dia (China) dapat tenaga baru dari asupan Indonesia,” tandasnya

Di lain sisi, Faisal cukup yakin pemain di hilirisasi nikel tanah air saat ini tak memenuhi berbagai syarat untuk mendapatkan sederet fasilitas dari pemerintah.

“Supaya semua terbuka dan baik, audit saja. Audit tax holiday dan pekerja. Kalau mereka banyak melanggar, cabut, di situlah kita masuk. That’s the only way, karena ini bukan tambang tidak ada program divestasi. Ini bisa seumur-umur mereka di situ karena statusnya industri,” tegasnya.

“Itu yang bisa mengubah nasib kita dan ini harus cepat karena 13 tahun lagi habis (cadangan nikel)… Sudah jelas begini, jangan lagi buat kebijakan merembet ke bauksit dan ke mana-mana dengan cara kontroversial seperti ini, cukup nikel,” tutup Faisal. (ror)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *