Jakarta,msinews.com– Ketua Badan Pengkajian MPR RI, Andreas Hugo Pareira, menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara visi besar Presiden dengan realitas implementasi di lapangan.
Hal itu disampaikan dalam diskusi Konstitusi dan Demokrasi Indonesia di Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu (20/8/2025), menyikapi pidato Presiden dalam Sidang Tahunan MPR.
Andreas mengungkapkan, pihaknya baru saja menyelesaikan pembahasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), yang merupakan amanat dari MPR periode sebelumnya.
Dokumen tersebut kini telah diserahkan kepada pimpinan MPR dan akan dibahas lebih lanjut, termasuk bentuk hukumnya.
“Kalau mau dikembalikan ke sistem ketatanegaraan, opsi hukumnya bisa melalui amandemen UUD, TAP MPR, atau undang-undang. Tapi masing-masing opsi punya risiko dan pertimbangan tersendiri,” jelas Andreas.
Menurutnya, kehadiran kembali PPHN dibutuhkan agar arah pembangunan nasional tidak berganti setiap kali ganti presiden. Ia mencontohkan di masa lalu, Indonesia memiliki haluan negara seperti GBHN dan PPNPS yang menjadi panduan jangka panjang pembangunan.
Terkait pidato Presiden Prabowo, Andreas menilai banyak poin yang patut diapresiasi. Salah satunya komitmen Presiden untuk menjaga agar kekayaan sumber daya alam tidak terus mengalir ke luar negeri tanpa memberi nilai tambah di dalam negeri.
“Pak Presiden menyoroti agar kekayaan kita jangan hanya diekspor dalam bentuk mentah, lalu uangnya disimpan di luar negeri. Ini satu poin penting yang perlu ditindaklanjuti dengan kebijakan nyata,” katanya.
Namun Andreas juga mengingatkan, sejumlah target ambisius pemerintah harus bisa dicapai secara realistis, bukan hanya menjadi wacana. Ia mencontohkan anggaran ketahanan pangan sebesar Rp164,4 triliun untuk tahun 2026, yang dinilai belum cukup kuat untuk menjawab keluhan masyarakat soal tingginya harga beras di lapangan.
“Kita dengar ada surplus 4 juta ton beras, tapi di lapangan harga tetap mahal. Artinya ada ironi antara data optimis di atas dan realitas di bawah,” ungkapnya.
Selain itu, program makan bergizi gratis untuk 82,9 juta siswa yang direncanakan tahun depan juga mendapat perhatian. Andreas menyebut program ini baik, namun pelaksanaannya harus diperhitungkan dengan cermat agar tepat sasaran.
Ia juga menyoroti pentingnya kepastian hukum bagi investor. Menurutnya, janji pembangunan akan sulit tercapai jika iklim investasi tidak ditopang dengan jaminan hukum yang kuat dan stabil.
“Banyak pengusaha, terutama dari luar negeri, menunggu kepastian hukum sebelum menanamkan modalnya. Kalau ini tidak dibenahi, akan menjadi hambatan besar bagi target-target pembangunan,” ujarnya.
Andreas mengingatkan bahwa Presiden tidak bisa bekerja sendiri. Para pembantu Presiden di kementerian dan lembaga harus mampu menerjemahkan visi besar itu ke dalam tindakan nyata.
“Jangan sampai Presiden bicara hal-hal yang baik saja, tapi para pembantunya tidak mampu mengeksekusi. Kita tidak ingin pidato yang bagus hanya menjadi pajangan,” tegasnya.
Ia menambahkan, masyarakat kini semakin kritis dan sensitif terhadap ketidaksesuaian antara janji dan kenyataan. Ia berharap ke depan, proses transisi dan pelaksanaan program-program prioritas bisa berjalan lebih baik dan tepat sasaran.
“Kami di MPR juga akan terus melakukan pengawasan dan menyerap aspirasi dari bawah. Karena faktanya, keluhan masyarakat masih cukup banyak soal kondisi ekonomi dan kesejahteraan,” ujar Andreas. DL.