Jakarta,msinews.com-Kualitas udara di kota Jakarta kembali memburuk pada Kamis 29 Mei 2025. Polusi udara di kota ini kembali tercatat sebagai yang terburuk ketiga di dunia dan masuk kategori tidak sehat, terutama bagi kelompok sensitif.
Data IQAir mencatatkan bahwa pada pukul 5.49 WIB, AQI Jakarta berada di angka 154, mengindikasikan udara tidak sehat akibat polusi PM2.5 dengan konsentrasi 60 mikrogram per meter3.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno, meminta pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk segera melakukan upaya pencegahan agar tingginya polusi udara di tahun 2022 dan 2023 lalu tidak terulang kembali.
“Belum masuk sepenuhnya musim kemarau dan juga di hari libur, tapi kualitas udara di Jakarta sudah masuk dalam 3 besar terburuk di dunia. Ini peringatan yang harus segera diantisipasi oleh pemerintah daerah dan kementerian terkait untuk mencegah polusi udara memburuk,” kata dia.
Menurutnya, aksi antisipatif perlu dipersiapkan demi menjaga keselamatan warga, akibat dampak polusi udara yang berpotensi meningkatkan angka penderita penyakit pernapasan.
“Kita sudah mengalami polusi udara akut di musim kemarau panjang di tahun 2022 dan 2023, sehingga saat ini perlu dipersiapkan langkah preventif jangka pendek, menengah, dan panjang agar warga tidak terdampak berbagai penyakit seperti ISPA. Upaya jangka pendek bisa berbentuk sosialisasi dan imbauan ke masyarakat untuk lebih menggunakan transportsasi publik listrik, tidak membakar sampah, sampai dengan penggunaan masker ketika berada di ruang terbuka. Namun, kita juga rancang solusi jangka panjangnya” imbuhnya.
Solusi Pencegahan
Menurut politisi Partai Amanat Nasional (PAN) itu bahwa, salah satu solusi jangka panjang untuk mengurangi polusi udara,Eddy Soeparno mendorong kebijakan penguatan dan perluasan transportasi umum ramah lingkungan.
“Pertama adalah elektrifikasi transportasi publik yang harus ditingkatkan secara signifikan baik dari jumlah armada maupun jangkauan wilayahnya, khususnya ke kawasan padat penduduk di wilayah sekitar Jakarta,” ujarnya.
Adapun, kebijakan selanjutnya adalah penanganan sampah yang terintegrasi dengan pengembangan teknologi terbaru Waste To Energy (WTE).
Penerapan teknologi WTE atau pengolahan sampah menjadi energi sudah mulai diadopsi di beberapa kota seperti Surabaya dan Solo, melalui proyek Pengelolaan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
“Jadi, apalagi pemerintah tengah merancang skema investasi baru agar pelaku usaha tertarik berinvestasi di sarana WTE dengan menawarkan tarif pembelian listrik yang lebih kompetitif.”
“Melalui Teknologi WTE ini kita bisa mendapatkan dua manfaat sekaligus. Pertama, tentu membakar habis tumpukan sampah yang selama ini tidak bisa ditampung di TPA. Kedua, bisa memproduksi listrik berbasis energi terbarukan, yang memiliki kredit karbon sehingga bisa menghasilkan pendapatan tambahan.”
Eddy pun berharap agar kualitas BBM yang digunakan dapat ditingkatkan agar mengurangi kadar polusi akibat kegiatan transportasi.
“BBM jenis Pertalite (RON 90) yang digunakan mayoritas pengguna mobil dan sepeda motor termasuk penyumbang utama polusi udara. Oleh karenanya, kita perlu mendorong penggunaan jenis BBM dengan oktan lebih tinggi seperti Pertamax Turbo (RON 98) yang setara dengan Euro 4, atau meningkatkan campuran biofuel ke dalam BBM kita sebagaimana telah dilakukan di BBM jenis solar. Kendaraan mewah atau dengan ukuran mesin tertentu sudah selayaknya mengkonsumsi BBM beroktan tinggi” kata Eddy. **
Editor : tim/dm.