Taman Miniatur, Megalitik Pasemah 

oleh
banner 468x60

Oleh: Dr. A. Erwan Suryanegara, M.Sn.

“Dirut…Dirut…Dirut jangan nanges, Bapang kah bejalan, bejalan dek kah lame…”
Mengutip satu lirik dari Lagu Daerah di Sumatra Selatan, yang artinya lebih-kurang:
Dirut…Dirut…Dirut jangan menagis, Ayah akan pergi, pergi tidak akan lama. Sebagai
pembukaku saat membicarakan GAGASAN KEBUDAYAAN.

banner 336x280

Kebudayaan di Sumatra Selatan hasil studi lapanganku sepuluh tahun lehih, menurutku memiliki “Duo Cagak Peradaban” Warisan Dunia, maksudnya di Sumatra Selatan ini sesungguhnya memiliki dua tonggak potensi kebudayaan tingkat dunia. “Cagak” atau tonggak di Sumatra Selatan secara
kultural adalah mendasar, karena bagi rumah-rumah panggung, tiang bersifat vital untuk
berdirinya suatu rumah Limas, rumah Cara Hulu, maupun rumah Baghi. Tiang merupakan
pondasi untuk menopang lantai, dinding dan atap setiap rumah panggung. Artinya , “Duo
Cagak Peradaban” Warisan Dunia yang ada di Sumatra Selatan itu penting, guna memajukan
Sumatra Selatan kini dan ke depan.

Selama ini kedua potensi yang merupakan warisan dunia itu terabaikan, bahkan salah satunya
seperti yang telah disinggung pada artikel sebelumnya, yakni Sriwijaya situs-situsnya selain
rusak dan hilang, ada yang dirusak dan “dihilangkan” oleh Pemerintah Daerahnya sendiri.
Cagak atau tonggak warisan dunia berikutnya adalah Megalitik Pasemah, merupakan
tinggalan masa prasejarah era Tradisi Megalitik, wujudnya berupa monumen batu-batu besar
yang tersebar di Bukit Barisan bagian Selatan, Sumatra.

Tinggi Pasemah, van der Hoop pada 1931 secara arkeologi menyimpukan temuan-temuan itu
adalah megalitik Pasemah. Tinggalan megalitik di Dataran Tinggi Pasemah memiliki
keunikan dibanding temuan-temuan megalitik di tempat lain, karena megalitik Pasemah
memiliki keragaman dan keunikan artefaknya. Setelah era kemerdekaan penelitian dan
pengelolaannya dambil alih oleh Arkeologi Nasional, setelah sekian lama Megalitik Pasemah
dikaji dengan ilmu Arkeologi, baru pada 2004 Megalitik Pasemah mulai dikaji secara khusus
dengan ilmu Seni Rupa hingga 2018.

Peta persebaran manusia prasejarah dan temuan artefaknya di Nusantara (sumber: Diolah dari Prasetyo, dkk, 2015, R. Soekmono, 1973, dan Suhardiman, 2001).

Keragaman Megalitik Pasemah

Saat ini umumnya sebaran situs ataupun artefak megalitik Pasemah itu telah terdaftar sebagai
kawasan Cagar Budaya, pengelolaannya secara regional dalam pengawasan BPCB Jambi.
Berdasarkan Hoop, Dataran Tinggi Pasemah yang dimaksud, saat ini meliputi Bengkulu,
Sumatra Selatan hingga ke lLampung.

Berdasar kajian seni rupa keberadaan sebaran bongkah-bongkah batu monolit yang cenderung jenis batuan andesit di kawasan Dataran Tinggi Pasemah, diperkitakan berasal dari magma vulkanik muntahan Gunung Dempo purba, mengingat saat penelitian telah dicari data gunung meletus di Museum Geologi – Bandung, tidak ditemukan sumber tertulis kapan meletusnya Gunung Berapi Dempo yang berada di Pagaralam itu. Masih berdasarkan kajian seni rupa terkait monument-monumen batu besar (Megalitik) Pasemah, ternyata merupakan hasil jenius lokal yang dimiliki oleh para leluhur pembuatnya.

Menurut RP. Sujono, konsep megalitik adalah pemujaan arwah leluhur, mereka memuja
arwah leluhurnya itu dengan menggunakan media artefak-artefak megalitik. Namun lebih
lanjut dikatakan pula, megalitik tidak harus selalu berupa media batu, media kayu atau
ranting dan atau daun juga dapat menjadi media pemujaan asalkan konsepnya megalitik.
Masyarakat tradisi megalitik percaya bahwa para arwah leluhur mereka mendiami dan
menetap di gunung, puncak-puncak bukit atau di sumber-sumber air.

Di situlah letak kecerdasan lokal mereka kala itu, dengan menempati kawasan dataran tinggi Pasemah maka mereka dapat dengan mudah mendapatkan bahan baku bongkah-bongkah batu monolit, selain itu kemanapun diarahhadapkan monumen pemujaan itu mereka buat, maka secara otomatis arahnya selaras dengan konsep megalitik, karena berada di kawasan Bukit Barisan yang juga banyak sumber-sumber air mengalir di sela-sela perbukitan Ketersedian bahan baku tadi, ternyata telah mendorong naluri kreatif mereka, sehingga memungkinkan terciptanya beragam bentuk artefak megalit selaras kebutuhan ritual pemujaan mereka kepada sang arwah leluhur (seperti beberapa contoh di atas).

Bila melihat perwujudan artefak megalit Pasemah, secara seni rupa dapat dibagi menjadi dua kategori wujud: 1). Berwujud atau mengandung wujud karya seni rupa, seperti; Patung, Lukisan di Dinding Kubur Batu, Dinding Batu Bergores, Batu Bergores, Menhir berelief, Lesung Batu berelief; 2). Berwujud bukan karya seni rupa:, seperti: Menhir, Dolmen, Batu Datar, dan
Lumpang Batu, jenis ini dibuat polos tanpa ada upaya memberinya unsur seni rupa. Di
Dataran Tinggi Pasemah (Bukit Barisan bagian Selatan, Sumatra), artefak-artefak megalit itu
bedasarkan data arkeologi yang terakhir, tersebar dalam lebih-kurang 40-an situs dalam seni
rupa diksi situs kusebut wilayah budaya atau area kultur.

Keragaman itu bukan hanya dapat dilihat pada dua kategori wujud artefak megalit Pasemah,
juga terlihat pada struktur perwujudannya, maka dari struktur kebentukan artefak megalit
Pasemah, terdiri dari dua jenis struktur: 1). Struktur Tunggal, seperti di antaranya: Menhir
tanpa Relief, Batu Datar, Dolmen, Lumpang Batu; 2). Struktur Jamak, seperti misalnya:
Patung, Lumpang Batu, Kubur Batu, Menhir Berelief, Dinding Batu Bergores, dan Batu
Bergores. Khususnya pada artefak patung megalit, juga memiliki dua jenis struktur selain
patung megalit berstruktur tunggal, ada juga patung megalit dengan struktur jamak.

Masih terkait patung megalit, di Bumi Pasemah pada patung megalit struktur tunggal, ada yang
berwujud hewan dan ada juga yang berwujud manusia. Sementara pada patung megalit
struktur jamak, hanya ada yang objeknya berupa manusia dengan manusia dan manusia
dengan hewan, untuk objek yang strukturnya hewan dengan hewan tidak dijumpai di Dataran
Tinggi Pasemah.

Bongkah batuan beku andesit monolit menyebar di Bumi Pasemah

Studi Seni Rupa di Dataran Tinggi Pasemah

Awal mengetahuti artefak megalitik Pasemah, bermula dari pencarian literatur untuk
referensi penulisan Pengantar Kuratorial Pameran Patung se Sumatra, di Palembang pada
tahun 2002. Guna penulisan awal di Kuratorial pada bagian Pengatar, jadi memerlukan potret
seperti apa latar belakang proses dan eksistensi Seni Patung di Sumatra Selatan.

Dari situlah awal mendapatkan referensi Megalitik Pasemah dari kawan-kawan arkeolog yang ada di
Palembang, karena secara arkeologi Megalitik Pasemah sudah berkali dilakukan penelitian,
sejak dari kajian Hoop yang mengawalinya.

Kajian Seni Rupa pertama kumulai pada 2004 –2006 di Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) – ITB. Dengan salah-satu metode yakni survei ke lapangan, menjadi prinsip karena diketahui artefak-artefak megalit itu cenderung masih berada di tempat penemuannya.

Studi seni rupa awal itu titik focusnya pada Pemetaan dan Identifikasi, ternyata studi seni
rupa itu merupakan yang pertamakali atas Megalitik Pasemah masuk ke ranah kajian FSRD,
sehingga kalangan akademisi seni rupa masih asing atas diksi Megalitik Pasemah. Namun,
berkat hasil studi lapangan yang berarti data visualnya, valid, aseli dan tidak sekunder, karena
kita yang langsung merekamnya.

Setelah melalui analisa mendalam atas data-data lapangan yang didapatkan, data pembandingnya tentu menggunakan data dari literatur-literatur arkeologi yang telah ada jauh sebelumnya, hasilnya memang temuan artefak megalit di Bumi Pasemah secara kwantitatif adalah jumlah yang terbanyak di Indonesia, baik satuan area kultur (situs) maupun satuan artefaktualnya yang ternyata juga paling beragam.

Secara bentuk atau visual sebagai hakikat seni rupanya (termasuk sikap, ukuran, media, dan
Teknik), juga terbukti adalah suatu yang unik dan khas, artinya tidak ditemukan di wilayah
megalitik yang lain. Selain itu juga ternyata artefak-artefak megalit Pasemah secara jumlah
satuannya, didominasi oleh wujud yang bercirikan karya seni rupa khususnya berupa karya
Patung seperti tampak pada gambar diatas, memang oleh kawan-kawan arkeolog menyebut
artefak patung megalit itu sebagai arca megalit, mengingat sebutan arca dikaitkan artefak
tersebut sebagai media pemujaan arwah leluhur sebagaimana konsep megalitik. Mengingat
studi seni rupa 2002 – 2004 yang dilakukan itu studi awal, maka terpaksa dibatasi cukup
sampai pemetaan dan identifikasi atas Megalitik Pasemah, sebagaimana yang telah
dikemukakan tadi.

Baru pada 2014 – 2018 masih di FSRD – ITB, artefak-artefak megalit tinggalan dan temuan
di Dataran Tinggi Pasemah dikaji secara mendalam dan radik, yakni dengan pertanyaan
masalah penelitiannya mengapa dan bagaimana artefak megalit khususnya patung megalit
diciptakan, karena dalam ranah seni rupa konsep penciptaan kaya itu termasuk hal mendasar
yang harus dapat dipertanggungjawabkan secara estetika. Namun, menjadi persoalan adalah
ketika patung-patung megalit itu diciptakan, bukankah dunia atau manusia belum mengenal
konsep estetik yang menjadi paradigma seni rupa, berawal sejak Yunani – Romawi dengan
Renaisance berlanjut mendominasi Eropa dan Amerika, bahkan menghegemoni dengan klaim
dunia Barat yang dikesankan “angker” Seni Modern dan Seni Pasca-modern, mereka telah
mematok format bahwa seni itu universal, belahan dunia di luar Barat seolah tidak ada celah
untuk menolaknya, bagaimana era sekarang dengan wacana Seni Kontemporer.

Di era Seni Kontemporer sedikit terbuka celah itu, maka sekarang seniman di luar dunia
Barat seolah mulai mendapat ruang terutama dengan konsep kelokalan yang cenderung
memiliki keunikan tentunya, mengingat seni kontemporer titik penekanannya memang lebih
pada konsep kekaryaannya, sementara teknik maupun wujud karya sudah menjadi soal yang
berikutnya. Namun celakanya, terkadang paradigma modernitas yang kemaren-kemaren
memang menghegemoni itu, masih sering menghantui berbagai pihak termasuk pada dunia
Barat itu sendiri belum sepenuhnya cair.

Masih terkait dengan konsep seni universal itu pula,tampaknya pengaruhi bacaan secara arkeologis atas Megalitik Pasemah, sehingga masih ada ungkapan khususnya pada visual gambar gores di batu dan patung megalit Pasemah, seperti “tidak proporsional dan bentuknya tambun”, karena abai atas latar patung megalit maupun gambar gores di batu dimaksud, padahal kedua jenis karya berwujud rupa tinggalan megalitik Pasemah tersebut memang diciptakan sebelum adanya konsep estetika.

Tradisi Megalitik seperti diketahui berlangsung pada era prasejarah (lihat Peta persebaran manusia prasejarah dan temuan artefaknya di Nusantara, di awal artikel ini), berdasarkan perkembangan teknologi peralatannya era megalitik berada di antara Neolitikum (Batu Baru) dengan Logam, artinya masih sangat jauh sekali rentang masanya manusia baru akan mengenal dan bicara konsep keseimbangan seperti Cilpasastra, Yin Yang, maupun Estetika. Ternyata leluhur manusia Indonesia di masa prasejarah telah memahat, menggores, menggambar di bidang batu ataupun bongkah
batu monolit, mereka berkarya yang kemudian wujudnya sekarang dikenal sebagai
karya seni rupa, bahkan kala itu mereka berkarya out door dan langsung merespon
alam sekitarnya (landscape), belum bersifat karya in door atau berkarya dalam studio
sebagaimana ciri seni rupa modern.

Konsep “Puyang”

Manusia yang memahat, menggores, dan menggambar di Bumi Pasemah tentunya adalah
orang-orang yang memiliki kecerdasan tinggi, betapa tidak pada beberapa patung megalit
Pasemah terlihat bahwa: Pertama, para leluhur dulu telah memiliki pengetahuan bahan yang
tinggi, mereka bukan saja menguasai teknik memahat yang mumpuni, mengingat medianya
berupa bongkah batu yang umumnya jenis batuan beku andesit (ada juga yang medianya
bukan jenis batuan andesit). Seperti diketahui untuk jenis batuan andesit adalah batuan yang
memiliki pori-pori rapat atau padat, sehingga saat proses pemahatan pecahan batuan ini
cenderung menepung, artinya dengan teknik memahat yang mumpuni kecil kemungkinan
batu tersebut akan mengalami belah atau pecah gompal.

Kedua, pada beberapa patung
megalit Pasemah ada yang dipahat dengan teknik Reliep Rendah, sehingga bongkah batu
medianya tidak perlu terlalu banyak dibuang, karena bagi para pemahat itu pada bentuk asal
bongkah batunya, sesungguhnya telah tergambar wujud akhir yang menjadi gagasannya.

Berikutnya lagi, kecerdasan dan kreatifitas dari para pemahat juga nampak pada karya-karya
patung pahatan mereka, semua berbeda artinya tidak mengenal revetisi bentuk maupun sikap
pada patung megalit Pasemah. Ini yang menjadi dasar kuat bahwa saat mereka memahat
bongkah-bongkah batu itu, sesungguhnya sedang melakukan proses kreatif selama proses
penciptaan karya patungnya. Itu sebabnya artefak patung megalit Pasemah tidak boleh hanya
disebut arca pemujaan, karena pada arca pemujaan umumnya dibuat dengan pengulangan
bentuk, sementara patung megalit Pasemah tidak mengenal pengulangan bentuk maupun
sikap patungnya. Berdasar hasil kajian mendalam atas patung megalit Pasemah pada 2014 –
2018, berhasil memecahkan pertanyan bagaimana konsep penciptaan patung megalit
Pasemah yang belum mengenal konsep Estetika, jawabannya bahwa mereka telah memiliki
dan menggunakan menggunakan Konsep “Puyang” (leluhur) sebagaimana digambarkna pada
diagram Model Ungkap Rupa di atas.

Misalkan, patung megalit Pasemah harus mempresentasikan MT adanya hubungan Manusia
dengan Tuhan (sesuatu yang menguasai, kadang menakutkan, tidak terdeskripsikan, dll);
harus mempresentasikan MA adanya hubungan Manusia dengan Alam (gunung, bukit, sungai
atau sumber air); harus mempresentasikan MM hubungan Manusia dengan Manusia (diterima
oleh masyarakat); harus mempresentasikan MK hubungan Manusia dengan Karyanya
(kreatifitas yang unik); harus mempresentasikan MD hubungan Manusia dengan Dirinya
(gagasan orisinil); artinya patung megalit Pasemah yang demikianlah kalau mau diibaratkan
sebagai karya yang estetis, karena selaras dengan Konsep “Puyang”.

Lahan luas ,tanpa cungkup, juga tanpa pagar Cromlech Stonehenge, Salisbury – Inggris (sumber: wikipedia.org, diunduh 7 Desember 2016)

Konsep Manusia dan Tuhan (MT), Manusia dan Alam (MA), Manusia dan Manusia (MM), Manusia dan Karya (MK), serta Manusia dan Diri (MD), kelima konsep tadi sesungguhnya juga dimiliki oleh
seniman atau kreator seni era kekinian, seperti Idea (MT), Lanskap (MA) karena karya out
door, Sensifitas Sosial (MM), Kreatifitas (MK), dan Gagasan (MD).

Model Ungkap Rupa mampu mengungkapkan patung megalit Pasemah secara konperhensif
eseni konsep penciptaannya, sehingga dapat pula merepresentasikannya karya seni rupa
kekinian yang out door. Gambar diagram Konsep “PUYANG” dan Konsep ESTETIKA,
memperlihatkan adanya relasi arah yang saling berhadapan antar kedua konsep penciptan
tersebut, Media dalam estetika sangat mendasar, selaras dengan MT pada “puyang”; Bentuk
pada estetika sebagai implementasi gagasan, selaras dengan MA karena alam adalah
makrokosmos yang menjadi orientasi gagasan; Teknik dalam estetika adalah proses berkarya
untuk mewujudkan, selaras dengan MM karena wujud yang digagas harus kebutuhan
masyarakat; Struktus pada estetika merupakan realisasi yang unik dari kreatifitas, selaras
dengan MK dalam “puyang” karena kekuatan kreatifitas penting bagi si empu; Simbolik
dalam estetika merupakan kecerdasan merekayasa bentuk, selaras dengan MD mengingat diri
si empu harus kaya dengan gagasan cerdas.

Faktanya untuk karya-karya monumental out door seni rupa kekinian, juga sangat mementingkan perhitungan lanskap sebagaimana patung megalit Pasemah selalu memiliki ruang spasial dengan bukit atau gunung maupun sumber air.

Tata Kelola, Pemberdayaan dan Pelestarian Megalitik Pasemah Hingga saat ini kalau boleh dikatakan tata kelola area kultur (arkeologi: situs) maupun artefak-artefaktual megalitik Pasemah, masih sangat jauh untuk dapat dikatakan memenuhi standar pelestarian dalam status warisan budaya (dead monument), di antaranya: Perluasan dan pembebasan lahan sebagai cagar budaya masih sangat minim; Kesalahan dalam pemeliharaan juga telihat adanya pemasangan pagar artefak yang terlalu mepet, apalagi ditambah dengan pemberian bangunan cungkup pada artefak, keduanya jelas merusak view atas artefak megalit itu sendiri, dan ini sekaligus menjadi bukti bahwa perluasan dan
pembebasan lahan yang sangat minim tadi salah, bahkan ada beberapa artefak megalit yang
masih bercampur dengan rumah tinggal pendududuk, bandingkan dengan Stonehange dan
Totem Polynesia di negara luar pada gambar di bawah ini; Masih terkait pemeliharaan
dimana para Juru Pelihara selain kecil honorariummnya, mereka juga sangat minim bekal
pengetahuan pemeliharaan cagar budaya.

Dua foto diatas Stoneheng dan Totem Polynesia, satu di Inggris satunya di Chili, dapat di
shareching ke google bagaimana perluasan dalam arti pembebasan lahannya. Dengan lahannya
yang terbuka luas itu guna pengamanan agar tidak mudah dijangkau sembarangan, jadi tidak
diperlukan pemasangan pagar seperti foto Megalit Pasemah di bawah ini yang berakibat
merusak view, bahkan ketika penelitian maka kita akan kesulitan mendapatkan gambar yang
bersih. Stoneheng dan Totem Polynesia juga tanpa dipasang cungkup yang memayungi artefak,
sehingga kita dapat mengambil video menggunakan drone.

Menhir berelief Tinggi Hari dan Empat Patung Tegur Wangi,

Kembali lagi menyoal warisan dunia yang ada di Bumi Pasemah, banyak artefaknya selain dipagar juga diberi cungkup, sehingga menghalangi proses penelitian, terutama untuk dokumentasi atau data penelitian. Apa gunanya keberadaan pagar seperti itu maupun cungkup pada aetefak megalit Pasemah, orang tetap akan dapat melompat masuk dan vandalis tetap mengancam orisinalitas artefak.

Kondisi tata kelola dan upaya pelestarian atas tinggalan megalitik yang diwariskan, seperti
kita jumpai di Bumi Pasemah itu tentunya masih jauh untuk dapat dikatakan memenuhi
standar, walaupun cenderung sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Bagaimana pula mau
menarik untuk dikunjungi para wisatawan yang tujuan mereka mendapatkan pengetahuan,
karena di lapangan tidak disediakan informan yang memadai, termasuk Juru Pelihara yang
resmi ditunjuk oleh Pemerintah juga rata-rata minim pengetahuan dan lemah kemampuan
komunikasinya.

Padahal berdasarkan sebaran wilayah budaya atau area kultur (situs)
megalitik Pasemah, termasuk kandungan artefak-artefak megalitnya apabila dikelola dengan
baik termasuk lengkap sarana-prasarananya, Bumi Pasemah sangatlah menarik bahkan dapat
menjadi semacam Museum Alam Terbuka Megalitik Pasemah (MATMP).

Area kultur-area kultur (situs-situs) memiliki kecenderungan sebagai pola, memperlihatkan
adanya relasi antar artefak di setiap area kultunya, seperti tampak pada dua gambar area
kultur megalitik Pasemah – Kabupaten Lahat di atas. Secara format atau posisi artefak, relasi
dimaksud memang selalu berbeda-beda antar wilayah budaya, pola tetapnya adalah relasi
yang mempepresentasikan adanya hubungan antar artefak, selaras konsep Megalitik relasi itu
adalah ciri dari wilayah budaya tersebut merupakan Arena Ritual kala itu, artinya di sanalah
tempat upacara pemujaan arwah leluhur, dan patung megalit sebagai senter poin saat upacara,
walaupun posisi patung megalit di antara artefak yang ada tidak harus selalu di tengahtengah, bacaan tadi menguatkan analisa, bahwa area kultur merupakan tempat ritual

Berdasarkan pola relasi artefak sebagai ciri bahwa tempat itu adalah arena upacara mistis,
maka menjadi bukti bahwa sesungguhnya kala itu bukan hanya karya patung megalit yang
hadir, mengingat suatu upacara atau ritual hingga saat ini selalu ada artefak-artefak yang
visual sebagai medianya (kala itu patung megalit), cenderung selalu ada bunyi-bunyian itu
yang kemudian kita kenal sebagai music, cenderung ada Gerakan tubuh mengikuti bunyibunyian, itulah Tari kita sebut hari ini, cenderung selalu ada peran dan lakon itulah Teater,
juga cenderung ada mantra-mantra yang kini dikenal sebagai Sastra (masa lalu sastra tutur),
dan pada masa megalitik itu ritual yang mereka lakukan selalu out door, seshingga pada
waktu itu sebetulnya para leluhur nusantara ini telah melaksanakan Perfoment Arts, di alam
terbuka (area kultur) yang menjadi salah-satu ciri seni kontemporer kekinian.

Atas fakta-fakta yang didapat dari hasil kajian seni rupa sebagian kecilnya seperti telah
diuraikan di atas, salah-satu kesimpulanya patung megalit Pasemah adalah karya terbaik pada
masa itu, ini pula yang menjadi argumen bahwa Megalitik Pasemah warisan dunia, sehingga
sangat disayangkan apabila potensi budaya ini terabaikan. Pertanyaannya, bagaimana upaya
merevitalisasi potensi tersebut agar dapat bermanfaat bagi negara bangsa ini? Mengingat
semua yang telah berstatus cagar budaya adalah warisan atau heritage, maka kita dalam hal
ini negara berkewajiban melestarikannya, dan untuk pelestarian itu tentu harus memberikan
poin-poin kemanfaatannya.

Berikut ini gagasan yang telah terkonsep guna pelestarian sekaligus mengangkat potensi warisan dunia itu, agar dapat memberikan kemanfaatan terutama kepada masyarakat sekitar yang sering terlupakan oleh para peneliti kebanyakan.

Sesungguhnya sedikit banyak ada kesamaan dengan artikel terdahuluku beberapa waktu lalu
tentang Taman Miniatur Sriwijaya, maka untuk megalitik Pasemah ini gagasannya adalah
Taman Miniatur Megalitik Pasemah dan Museum Alam Terbuka, sesungguhnya keduanya itu
boleh dikatakan satu paket berkesinambungan yang bersifat dwi tunggal.

Gambar di atas itu adalah site plan sederhana untuk menggambarkan gagasan dan konsep
pelestarian dalam merevitalisasi potensi Megalitik Pasemah. Taman miniatur ini penting
sebagai filter agar para wisatawan menjadi mudah dan nyaman, dalam menjangkau daerah
atau destinasi wisata tujuannya, juga agar terkoneksinya semua fasilitas yang terkait subjek
dalam satu garis koordinasi kegiatan kepariwisataan tersebut.

Berikutnya, merupakan perlindungan agar artefak aseli tidak dengan mudah dijangkau oleh tangan-tangan yang tidak berkepentingan dalam pelestarian, karena apa yang ada di kawasan Taman Miniatur Megalitik Pasemah adalah replika dari area kultur maupun artefaktual aselinya. Alam dan
lingkungannya (area kultur) akan diminikan dengan perhitungan skala, sedangkan artefak
megalitik Pasemah dengan skala 1 : 1. Gambar di atas adalah kawasan ring ke-1 yang
dilengkapi sarana dan prasarana penunjangnya.

Pertanyaan, dimana Taman Miniatur Megalitik Pasemah ini sebaiknya dibangun? Jawabnya,
tentu harus di seputaran Kabupaten Lahat ataupun Kota Pagaralam, karena tidak boleh
terpisahkan dengan konsep tingkat lanjut berikutnya, yakni Museum Alam Terbuka, sebab
keduanya harus berada dalam satu paket yang berkesinambungan. Setelah masyarakat
mendapat pengalaman yang sesungguhnya mendapatkan pengetahuan itu di Taman Miniatur
Megalitik Pasemah, tentu akan muncul motivasi bagi mereka yang telah berkunjung untuk
melihat dan mengalami langsung sensasi berada di kawasan area kultur aselinya dan tidak
beberapa jauh lagi dengan artefak megalitik aselinya.

Di kawasan Taman Miniatur tersebut juga memungkinkan atau berpeluang dibukanya IBI Sriwijaya, guna mempersiapkan Sumber Daya Insani berkualitas untuk menindaklanjuti revitalisasi asset warisan yang ada. Tetkait lahan peruntukan bagi Taman Miniatur Megalitik Pasemah, lebih-kurang sekitas 5 – 7 hektar,syarat lahan tentu harus dekat atau mudah dijangkau dari pusat kota. Dari tata kelola Taman Miniatur Megalitik Pasemah yang baik, maka ke depannya tentu dapat mendorong percepatan upaya merealisasikan Museum Alam Terbuka, Megalitik Pasemah.

Keberadaan Dwi tunggal tersebut tentu selain terjaminnya kelestarian potensi warisan dunia
tadi, juga akan memberikan dampak signifikan kepada peningkatan ekonomi kerakyatan yang
akan tumbuh secara alami tanpa perlu direkayasa. Semoga realisasi gagasan ini juga banyak
dinantikan oleh masyarakat dunia. Mengingat potensi keberadaan Dwi Tunggal tadi sangat
membuka peluang berbagai usaha dan bisnis bertaraf internasional, tentunya satu daya
tarik juga bagi banyak investor untuk dapat berperan serta, maka ke depan Taman dan
Museum Megalitik tersebut harus dikelola oleh semacam Otorita khusus yang handal dan
professional.

Otorita ini bertanggung jawab agar keberadaan keduanya dapat dirasakan
kemanfaatannya secara nyata oleh segenap anak bangsa, apalagi bila telah menjadi salahsatu tujuan destinasi wisata Internasional…SEMOGA.

“…Dirut hala nanges lagi, bapang la kan balek, pejamkan la mate…” (Dirut jangan menangis
lagi, Ayah segera pulang, pejamkanlah mata). **

 

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *