Msinews.com – Ketua Tim Investigasi Independen Badan Gizi Nasional (BGN) Dra Karimah Muhammad mengungkap temuan penting dalam penyelidikan kasus keracunan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Cipongkor, Bandung Barat, Jawa Barat.
Berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap sisa makanan yang dikonsumsi para pelajar, ditemukan kadar nitrit mencapai 3,91 dan 3,54 miligram per liter (mg/L). Angka ini jauh di atas batas aman yang ditetapkan lembaga internasional.
“Jadi kalau merujuk standar EPA, maka kadar nitrit dalam sampel sisa makanan di sekolah hampir 4 kali lipat dari batas maksimum,” ujar Karimah kepada wartawan, pada Sabtu 4 Oktober 2025.
Karimah menjelaskan, standar tersebut merujuk pada Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency/EPA), yang menetapkan kadar maksimum nitrit yang boleh dikonsumsi dalam minuman hanya 1 mg/L.
Ia menyampaikan, penyelidikan tim investigasi BGN menyimpulkan bahwa senyawa nitrit merupakan penyebab utama kasus keracunan yang menimpa 1.315 siswa di Bandung Barat pada bulan lalu.
“Kami berkesimpulan, senyawa nitrit menjadi penyebabnya,” kata Karimah.
Karimah menuturkan, sebagian buah-buahan dan sayur-sayuran memang mengandung nitrit secara alami, namun kadarnya bisa meningkat karena hasil kerja bakteri.
“Pola gejala yang ditunjukkan para korban sejalan dengan gejala keracunan nitrit, di mana yang mendominasi adalah efek di saluran pencernaan bagian atas, misal mual, muntah atau nyeri lambung, sebanyak 36 persen. Bukan di saluran pencernaan bagian bawah, misal diare,” ujarnya.
Ia menjelaskan, gejala tersebut sejalan dengan kondisi para pelajar di Cipongkor, Bandung Barat, yang banyak mengalami pusing atau kepala terasa ringan.
“Gejala lemas dan sesak nafas yang dikeluhkan sebagian korban juga menunjukkan keracunan nitrit. Sebab, nitrit bisa menyebabkan methemoglobinemia, di mana kemampuan hemoglobin di dalam darah untuk membawa oksigen menjadi berkurang, sehingga sel-sel tubuh merasa lemas, dan di paru-paru terasa sesak,” jelasnya.
Karimah menyebut, pola gejala itu memperlihatkan kesesuaian antara kadar nitrit tinggi dan efek klinis yang dialami para siswa. Temuan tersebut kini menjadi dasar evaluasi pelaksanaan program MBG agar pengawasan bahan pangan dan penyimpanannya lebih ketat.*