MSINEWS.COM- Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Saadiah Uluputty, mendesak agar pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat segera dituntaskan dan disahkan menjadi undang-undang yang kuat serta berpihak kepada masyarakat adat.
Menurutnya, pengesahan RUU tersebut adalah ujian nyata bagi negara dalam melaksanakan amanat konstitusi untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat di seluruh Indonesia.
Politisi asal daerah pemilihan Maluku ini menilai, setelah lebih dari 15 tahun dibahas tanpa hasil, RUU ini tidak boleh lagi terjebak pada tarik-menarik politik dan kepentingan sektoral.
Ia menegaskan bahwa RUU Masyarakat Adat harus menjadi payung hukum yang mengikat seluruh kementerian dan lembaga agar tunduk pada prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap komunitas adat.
“RUU ini tidak boleh berhenti pada tataran simbolik. Kita butuh undang-undang yang memaksa negara dan kementerian sektoral tunduk pada pengakuan masyarakat adat,” tegas Saadiah keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat (7/11).
“Tanpa kekuatan harmonisasi, masyarakat adat akan terus menjadi korban kebijakan yang menyingkirkan mereka dari tanah dan budaya sendiri,” sambungnya.
Anggota Komisi V DPR RI itu juga menyoroti masih adanya tumpang tindih aturan di sektor kehutanan, agraria, pertambangan, dan lingkungan yang membuat banyak komunitas adat kehilangan hak atas wilayahnya.
Saadiah menekankan, DPR harus memastikan bahwa RUU Masyarakat Adat berfungsi sebagai alat harmonisasi antar-aturan, sekaligus memberikan sanksi kepada pejabat atau lembaga negara yang melanggar prinsip perlindungan adat.
“Kita tidak boleh membiarkan kementerian atau pemerintah daerah terus mengeluarkan izin di atas tanah adat hanya karena belum diakui secara administratif. Masyarakat adat sudah ada jauh sebelum negara berdiri. Tugas kita adalah mengakui, bukan mempersulit mereka,” ujarnya.
Politisi PKS itu juga menegaskan pentingnya memastikan partisipasi perempuan adat dan pemuda dalam seluruh proses pengambilan keputusan.
Menurutnya, perempuan adat memegang peran vital dalam menjaga keberlanjutan tradisi dan sumber daya komunitasnya.
“Perempuan adat adalah penjaga kehidupan dan kebudayaan. Undang-undang ini harus memberi tempat yang setara bagi suara mereka agar perlindungan masyarakat adat benar-benar menyeluruh,” ujar Saadiah.
RUU Masyarakat Adat sendiri memuat ketentuan tentang pengakuan hak, kelembagaan Komisi Nasional Masyarakat Adat, mekanisme restitusi, dan pemberdayaan masyarakat adat.
Namun, beberapa kalangan menilai rancangan ini masih lemah dalam aspek pelaksanaan, terutama terkait harmonisasi dengan undang-undang sektoral dan akuntabilitas pejabat publik.
Saadiah menutup dengan menegaskan bahwa keberhasilan DPR menuntaskan RUU Masyarakat Adat tahun ini akan menjadi tolak ukur komitmen negara terhadap keadilan sosial.
“RUU ini adalah cermin keberpihakan negara terhadap rakyat yang paling lama terpinggirkan. Jika DPR kembali gagal mengesahkannya, artinya kita belum sungguh-sungguh melaksanakan amanat UUD 1945,” tutupnya.

