Jakarta,msinews.com– Ketua Tim 13 Haji Umrah, M. Firman Taufik, menegaskan bahwa revisi Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah harus mampu menjaga ekosistem ekonomi yang telah terbentuk dari industri perjalanan ibadah tersebut.
Menurutnya, penyelenggaraan haji dan umrah tidak semata-mata urusan ibadah, tetapi juga menyangkut perputaran ekonomi yang melibatkan banyak sektor.
“Industri ini telah menopang perekonomian nasional dengan melibatkan UMKM, konveksi, katering, transportasi darat maupun udara, perhotelan, hingga jasa pembimbing ibadah,” kata Firman dalam sebuah Forum Legislasi bertajuk “Revisi UU Haji Demi Meningkatkan Kualitas dan Pengelolaan Ibadah Haji di Indonesia”, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Dikatakan bahwa, yang telah berkecimpung di bisnis haji dan umrah sejak 1995, mengingatkan bahwa sejarah penyelenggaraan ibadah ini di Indonesia sudah berlangsung sejak masa pra-kemerdekaan. Kala itu, ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, hingga pesantren berperan aktif dalam menginisiasi pemberangkatan jamaah ke Tanah Suci. Kini, penyelenggaraan tersebut berkembang menjadi industri besar dengan ekosistem ekonomi yang kompleks.
Ia mencontohkan, saat pandemi Covid-19 melanda dan keberangkatan jamaah dihentikan, ekonomi di sektor ini ikut terpuruk. Namun, ketika pemerintah Arab Saudi kembali membuka pintu ibadah umrah dan haji, geliat ekonomi langsung terasa kembali.
Firman menilai, ekosistem yang sudah terbentuk ini melibatkan banyak pihak: regulator, operator, penyedia jasa, hingga jamaah sebagai pengguna. Karena itu, ia menekankan pentingnya revisi UU haji dan umrah agar tidak hanya fokus pada aspek ibadah, tetapi juga memperhatikan dampak ekonomi yang melingkupinya.
“Pertanyaan besarnya adalah apakah undang-undang baru nanti akan melestarikan ekosistem ekonomi berbasis jamaah yang sudah terbentuk? Itu yang harus kita jaga bersama,” ujarnya.
Firman juga menyinggung perbedaan mendasar antara haji reguler dan haji khusus. Menurutnya, haji reguler diselenggarakan tunggal oleh pemerintah dengan kuota 92 persen dan mendapat subsidi, sementara haji khusus dikelola oleh lebih dari 900 penyelenggara dengan kuota 8 persen tanpa subsidi pemerintah.
Sesuaikan Perkembangan Zaman
Selain itu, ia menyoroti pentingnya menyesuaikan aturan dengan perkembangan zaman, terutama terkait digitalisasi, perubahan perilaku konsumen, regulasi baru dari Arab Saudi, serta transparansi metode penyelenggaraan.
“Undang-undang ideal adalah yang mampu memberikan pembinaan, pelayanan, dan perlindungan kepada warga negara, sekaligus meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah,” kata politisi dari NasDem ini.
Rencana revisi UU 8/2019 diperkirakan akan dibahas dalam waktu dekat. Firman berharap hasilnya bisa memperkuat tata kelola, meningkatkan kualitas layanan, sekaligus menjaga keberlangsungan ekosistem ekonomi yang lahir dari industri haji dan umrah. ***