Serial Bandar-bandar Tua di Nusantara: Sibolga dan Datuk Bandar (bagian 2) 

oleh

PARA Pedagang Arab pada abad ke-7 hingga abad ke-13 Masehi menyebut Sibolga dengan nama Fansur. Tentu pembaca pernah mendengar nama. sastrawan Hamzah Al-Fansuri? Sastrawan terkemuka Indonesia berasal dari kawasan, yang pada masa Sriwijaya (abad ke-7-ke-13 M) disebut oleh orang Arab sebagai Fansur.

Bandar Sibolga atau Fansur adalah satu di antara 14 Bandar Dagang terkemuka/utama Sriwijaya pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, sebagai tercatat dalam Kronik Dinasti Tang.

Tome Pires menuliskan, pada masa lalu posisi bandar yang juga dikenal dengan nama “Fansur” masih merupakan bandar terpenting hingga abad ke-16 Masehi. Secara geografis letak Bandar Fansur atau Sibolga lebih mudah dijangkau dari arah laut dibandingkan dengan Bandar Barus.

Atlas Pelabuhan-pelabuhan Bersejarah di Indonesia suntingan Endjat Djaenuderajat (2013), menyebutkan, di pesisir barat Pulau Sumatra membujur dari arah barat laut ke tenggara, di sana terdapat pelabuhan Lamuri (Aceh), Barus, Sibolga, Tiku, Pariaman, Padang (Muaro dan Teluk Bayur), Bengkulu (Padang Baai), dan Lampung.

Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal pada 7 Desember 1842 tempat kedudukan Residen Tapanuli dipindahkan dari Air Bangis ke Sibolga. Sejak itu Sibolga resmi menjadi Ibukota Keresidenan. Kendati statusnya sebagai Ibukota Keresidenan sempat dipindahkan ke Padang Sidempuan, yaitu antara tahun 1885-1906, predikat itu kembali lagi ke Sibolga berdasarkan Staadblad 1906.

Tercatat hingga 1920, Sibolga masih bernama Onderafdeeling Sibolga en Ommelanden dan berada di bawah Residen Tapanuli dan beribukota Sibolga.

Pada 7 Maret 2019 Presiden Joko Widodo meresmikan Bandar Sibolga. Sudah tentu, ketika peresmian itu Sibolga bukan pelabuhan yang benar-benar baru, melainkan hasil pengembangan dari bandar sebelumnya.

Bandar tua ini hingga saat ini masih berfungsi sebagai pelabuhan kecil bagi masyarakat nelayan di sana, kendati keberadaannya kini nyaris sulit berkembang menjadi pelabuhan besar.

Bandar Sibolga berkarakteristik pelabuhan alam, berada di Teluk Tapian Nauli atau Teluk Sibolga. Topografi bandar tua ini relatif terlindungi dari ombak besar Samudera Indonesia.

Teluk Sibolga dan pelabuhannya antara tahun 1910 dan 1920 (Foto: Tropenmuseum). 

Sejak awal abad Masehi, pedagang India dan Arab biasa berlayar menyeberangi Samudra Hindia ke Sumatra menggunakan, salah satunya gerbang barat ini. Daya tarik utama di sini adalah komoditas kapur barus berkualitas tinggi, yang diambil dari pelabuhan Barus di dekatnya. Sama-sama berada di kawasan pesisir, Sibolga berjarak lebih kurang sekitar 67 kilometer di selatan Barus.

Sejak abad ke-19, Bandar Sibolga muncul dengan fasilitas lebih baik dari pada Bandar Barus. Sejarah mencatat, kawasan Sibolga dahulu merupakan bandar kecil di tepi Teluk Tapian Nauli di Pulau Poncan Ketek (sebuah pulau kecil tak jauh dari Kota Sibolga).

Bandar kecil ini dibangun pada sekitar abad ke-18 dengan penguasanya bergelar Datuk Bandar. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sekitar abad ke-19, bandar kecil itu dipindahkan ke daratan di Pulau Sumatra, yaitu di lokasi Sibolga saat ini untuk menggantikan bandar di Pulau Poncan Ketek.

Karena lokasinya dekat dengan sumber alam dan sumber air sebagai sumber perbekalan bagi kapal yang tengah berlabuh, Bandar Sibolga di kemudian hari berkembang menjadi lebih besar sebagai kota pelabuhan dan perdagangan.

Sibolga pada zaman Hindia Belanda berjaya sebagai pelabuhan dan gudang niaga untuk barang-barang hasil pertanian dan perkebunan seperti kapur barus, karet, cengkeh, kemenyan dan rotan.

Inggris bahkan pernah menjadikan Sibolga sebagai pelabuhan gudang niaga lada terbesar di Teluk Tapian Nauli. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, berdasarkan Besluit Gubernur Jenderal pada 7 Desember 1842 tempat kedudukan Residen Tapanuli dipindahkan dari Air Bangis ke Sibolga.

Sejak itulah Sibolga resmi menjadi Ibu Kota Keresidenan. Status Sibolga sebagai Ibu Kota Keresidenan sempat juga dipindahkan ke Padang Sidempuan, yaitu antara tahun 1885-1906.

Status itu kembali lagi ke Sibolga berdasarkan Staadblad yang dikeluarkan pada 1906. Tercatat hingga 1920, Sibolga masih bernama Onderafdeeling Sibolga en Ommelanden dan berada di bawah Residen Tapanuli dan beribukota Sibolga.[]

*)Penulis adalah Ketua Departemen Data pada Pusat Kajian Sriwijaya FISIP UNSRI.